Pecak, pecek, pecel. Bisa sama bisa beda. Yang pasti makin jarang warung tenda dengan spanduk kain digambari secara manual.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Pecel lele, pecak lele, dan spanduk warung tenda

Karena keterbatasan jelajah pengudapan — bukan jelajah kuliner — saya termasuk telat mengenal pecel lele. Saya baru tahu medio 1980-an di sebuah kedai besar di Blotongan, Salatiga, dengan latar Rawa Pening. Ketika memesan saya membayangkan pecel dengan lauk lele. Ternyata bukan. Tak ada pecelnya. Cuma lalapan sekadarnya, menemani lele goreng di atas piring tembikar.

Dalam perjalanan waktu saya menduga nama aslinya adalah pecak lele, tapi dalam pelafalan ala Jatim pecak menjadi pecek, lalu karena diikuti kata lele jadilah pecel.

Oh, tapi pecak ternyata ada kuahnya. Begitu pun pecak lele Betawi. Biarlah itu dibahas peminat bahasa dan kuliner.

Tentang warung tenda pecel lele, selama hampir dua puluh tahun ini ada yang hilang. Yaitu spanduk dari kain belacu yang digambari ayam dan lele secara manual seperti melukis. Kini gaya gambar masih ada namun hasil cetak digital.

Dulu, awal 2000-an, harga spanduk kain 3 x 1,2 meter bergambar lele dan ayam berikut nama kedai itu bisa sampai Rp500.000. Tidak bisa pagi pesan lalu sore dipasang. Cetak digital di atas plastik lebih cepat, bisa ditunggu kalau telaten.

Apanya yang nyeni dari spanduk kain yang dikerjakan manual? Gambar ayam dan lele beragam karena tak ada aset siap pasang di komputer. Tipografi juga bisa mengarang yang penting ada gradasi.

4 thoughts on “Pecel lele, pecak lele, dan spanduk warung tenda

  1. sampe sekarang saya belum tau asal pecel lele ini. ada yang bilang berasal dari lamongan, namun sepertinya ini tidak begitu valid. orang lamongan cuma jual, tapi asalnya dari mana, belum ada kesepakatan sejarah, kayanya..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *