Mewarisi rumah tinggalan orangtua, yang selesai dikontrak orang, Bungin menanya soal desain renovasi rumah. “Tanya arsitek saja,” jawab Kamso.
Bungin ngèyèl, minta masukan. Kamso bilang, yang penting cahaya alami memadai, sirkulasi udara bagus, untuk rumah di atas lahan 102 meter persegi pakailah perabot kompak, bila perlu hasil kustomisasi. Klise sih.
Kamso sekalian membual, “Nggak usah bikin ruang tamu yang disekat tembok, sayang kalo nggak kepake. Zaman belum pendemi aja orang jarang bertamu. Lebih praktis ketemu di kedai kopi, nggak repot jarak, tol, dan parkir. Motor parkir aja bikin sesak jalan apalagi mobil, ngganggu tetangga.”
Pemuda 30 tahun itu berbinar. Dia jentikkan jempol dan jari tengah sampai bunyi takkk.
“Bener, Oom. Tamu di rumah papa mama cuma orang dekat, ngobrol di ruang keluarga atau meja makan. Lebih penting teras buat nerima tetangga karena pasti sebentar. Bisa ngerokok pula.”
¬ Gambar praolah: Amazon, Unsplash
4 Comments
Bener, nggak perlu ruang tamu.
Di rmh saya, ruang tamunya sempit, kemudian ditaroh sebuah amben besi yg diisi kasur springbed. Tiada kursi tamu.
Tamu, termasuk tetangga, ditemui di teras yg tampias kalau hujan.
Di mana-mana gitu. Kalo orang dekat ya ngobrol di meja makan.
nah, di rmh sy nihil meja makan😁 ini serius. kadi, misal makan bersama bertiga (saya, istri dan cowok ragil), kami nglesot di lantai, di antara TV dan amben besi.
Sekarang juga lumrah, bukan karena kahanan tapi pilihan. Yang penting nyaman.