Generasi tua enteng saja menyebut anak-anaknya tak paham hasil pertanian, padahal kaum sepuh juga berjarak dari kebun apalagi hutan.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

 Saset bubuk kunyit desaku yang sangat berjarak dari kitchen set kita

Desa bisa berkonotasi macam-macam, dari yang romantis dekat dengan alam sampai cap ketertinggalan dalam irama modernitas. Jika menyangkut sayur, buah, dan bumbu, desa adalah jaminan. Maka desa, country, sebagai elemen jenama jadi pas.

Lalu? Mau pakai elemen apa saja, dari desa sampai nama planet, sebuah produk olahan hasil pertanian tetap saja mempertegas jarak konsumen dengan sumbernya. Apa boleh bikin, itulah konsekuensi industrialisasi yang berbuah pembagian kerja kian beragam.

Saya suka unsur kayu manis dalam beberapa sajian, termasuk minuman, tapi saya tahu pohon cinnamon belum lama — dan setelah itu pangling. Serupa anak-anak saya belum tentu pernah melihat orang (apalagi beruk) memanjat pohon kelapa, memetik buah, lalu ada orang lain memerasnya menjadi santan, sehingga akhirnya menjadi rendang padang nan lezat.

Saya berterima kasih kepada konten multimedia, dan tentu internet, yang semakin memperkaya pengetahuan manusia. Tak memperapat jarak kunyit dengan saset bubuk di rak dapur sih, tapi lumayan untuk menambah endapan kognitif di benak.

3 thoughts on “Dari desa dengan cinta, via pabrik entah di mana

  1. jadi ingat William Wongso pernah bilang, kuliner Indonesia kalah terkenal dengan kuliner dari negara lain di dunia seperti Thailand dan Vietnam, karena kita tidak bisa mengekspor bumbu. sementara kedua negara itu sering mengekspor bumbu mereka ke luar. maka dorongan untuk mengekspor bumbu instan ke LN ini perlu dilakukan jika ingin kuliner Indonesia terkenal di luar negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *