Kini sarung batik mengalami peneraan label sebagai atribut Islam Nusantara. Terasa ada perlawanan terhadap atribut busana Arab?
↻ Lama baca 2 menit ↬

Iklan PLN penutup tahun ini kontekstual banget dengan warna masyarakat selama 2020: banyak orang kantoran bekerja dari rumah. Maka saat rapat virtual gaya atas seperti biasanya di kantor tapi busana bawah adalah pakaian rumah ditambah sandal japit.

Lalu apanya yang menarik? Sarung. Ya, sarung. Makin ke sini setahu saya jarang pria sarungan di rumah, dan lagi-lagi setahu saya, artinya sebatas persepsi yang belum tentu benar apalagi berlaku umum, banyak pria muslim sekarang lebih sering bersarung hanya saat salat di rumah maupun di musala luar rumah dan masjid. Selain itu ya mereka bersarung saat Lebaran.

Pria sekarang, muda sampai tua, lebih sering bercelana pendek di rumah. Kadang bercelana kolor.

Dulu saat saya SMA dan kuliah, banyak teman bersarung di rumah dan indekos. Dan sarung tak ada hubungannya dengan identitas keagamaan. Malah tetangga saya di Yogyakarta, seorang pendeta Kristen, kerap bersarung. Seorang mahasiswa Cina yang mondok di rumahnya juga kerap bersarung. Adapun tetangga saya di Salatiga, Jateng, seorang pria Cina, juga kerap sarungan.

Untuk pria sebaya saya, dan yang lebih tua, adalah hal biasa jika menginap di rumah kawan maupun famili akan ditawari sarung bersih beraroma kapur barus. Sarung memang praktis. Mudah mengenakannya. Pun mudah tersibak dan melorot kalau yang memakainya adalah saya.

Saya masih sering bersarung. Setiap hari ganti. Hampir semuanya batik. Saya tertarik bersarung batik sejak 25 tahun lalu karena melihat beberapa santri bocah di Pantura Jateng bersarung batik. Saya ingat, waktu kecil sering melihat anak sebaya, antara lain si Sabar penjual kayu bakar di Sinoman, Salatiga, berangkat dari Sraten dengan menyilangkan sarung batik di badan, dengan kupluk lemas selalu melekat miring di kepalanya.

Di kantor lama saya dulu punya stok sarung batik. Ketika malam tiba, karena saya adalah doktor, mondok di kantor, busana saya adalah sarung. Akhir pekan setiap saya pulang ke rumah membawa tas besar pakaian kotor antara lain berisi sarung. Di kantor berikutnya meskipun juga menjadi doktor, saya tidak berani bersarung karena sungkan dengan suasana formal, mana kamera CCTV tersebar di banyak titik pula.

Di kantor yang lebih lama lagi, soal sarung sampai ke BOD. Lalu bos di kantor induk, sejauh delapan kilometer dari kantor saya, menanya saya, apakah saya yang bersarung keluar dari ruang pagi-pagi ketika karyawan bagian lain sudah datang. Ada laporan berbau keluhan dari sebuah unit tertib santun yang semua karyawannya berbusana rapi.

Saya jawab tidak. Saya tahu ada dua doktor di lantai saya, salah satu selalu bersarung. Mungkin saat itu dia kesiangan. Saya waktu itu lebih sering pulang dini hari, tidur di rumah.

Kendati sarung bukan identitas agama, dulu sarung dan kaum sarungan juga berkonotasi sosial politis: penyebutan oleh kaum seluler nasionalis terhadap politisi berbasis Islam.

Kini sarung batik mengalami peneraan label sebagai atribut Islam Nusantara. Terasa ada perlawanan terhadap atribut busana Arab terutama yang dikenakan oleh kalangan yang terlabeli sebagai sektarian bahkan intoleran bahkan radikal. Tolong Anda koreksi jika kesan saya ini melenceng. Yang pasti saya tak menyimpulkan busana Arab berarti sektarian, intoleran, apalagi radikal.

4 thoughts on “Fesyen pandemis: atas berdasi, bawah bersarung

  1. sarung ini sayangnya tidak mampu menahan udara dingin.. padahal di beberapa daerah di Indonesia yang dingin, banyak yang menambahkan sarung sebagai aksesorisnya.. tentu bukan dipakai menutupi perut ke bawah, tapi untuk selimut..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *