Salak, ular, dan pencuri

Saya berjumpa ular. Saya menjadi pencuri di bukit menuju pelacuran.

▒ Lama baca 2 menit

Dondong apa salak bukan untuk pencuri

Ini dia si buah ular. Demikian orang berbahasa Inggris menyebut Salacca zalacca yang bersisik. Saya juga pernah punya pengalaman dengan salak dan ular. Saya teringat hal itu karena tadi pagi istri saya membeli sekantong salak dari Mbakyu Sayur seharga Rp15.000.

Dondong apa salak bukan untuk pencuri

Waktu masih berusia sembilan tahun, di Jalan Osa Maliki 50, Salatiga, Jateng, saya senang memetik salak dari pohonnya, yang menjadi batas kebun saya dan tetangga. Bagian yang menghadap rumah keluarga kami saya anggap hak saya. Tetapi saya pernah melihat tetangga turun ke kebun saya, dengan golok mencungkili salak. Bapak itu penduduk asli, lebih dulu bermukim di sana, sedangkan kami pendatang.

Turun ke kebun saya? Ya. Dua pohon salak yang buahnya masir, wangi, dan besar itu tumbuh di atas tebing miring setinggi satu meter. Hanya ada pagar hidup, antara lain ditumbuhi semak, lalu ditumbuhi apa yang kemudian disebut lidah mertua (Sansevieria) dan juga lompong keladi (Caladium).

Untuk memetik salak yang tingginya pas kepala saya itu memang harus pakai alat. Saya pakai golok berat berkarat parah yang tak menyisakan ketajaman. Saya belajar dari tetangga tadi yang saya amati dari jendela besar dapur yang memerangi bak cuci piring. Tanpa golok, tangan saya akan tertusuk duri karena rumpun buah salak selalu berpagar duri.

Suatu kali saya sibak penghalang dompolan salak. Secara refleks saya melompat ke belakang lalu lari dengan jantung berdebar, napas tersengal. Ada ular hitam entah apa di sana. Baru kemudian saya berpikir keras kenapa dia tak takut duri.

Dondong apa salak bukan untuk pencuri

Pengalaman penting kedua perihal salak saya dapatkan saat berusia sepuluh. Karena kelas bubar sangat dini, tersebab para guru akan berapat, kami akan bermain ke alam terbuka. Biasanya ke sungai atau umbul (mata air) di Kalisumba. Kali itu seorang kawan punya ide: memetik salak di kebun keluarganya, di Kemiri ke arah Alaska (alas karet).

Dalam perjalanan dia bilang itu kebun pakliknya. Kami sekitar berdelapan melewati jalan setapak, lalu jalan berbatu di perbukitan, tapi ketika bersua dua pria dewasa berpakaian bukan untuk ke ladang, mereka berkemeja rapi motif kotak-kotak, berpantalon licin, bersandal Lily, salah satu teman saya segera bersembunyi di balik batu besar di pinggir jalan.

Salah satu pria menegur kami, kalian anak sekolah hendak ke mana. Setelah kedua pria itu menjauh, teman saya keluar dari persembunyian. Dia bilang itu salah satu pakliknya bersama temannya, pasti baru pulang dari Sembir*. Kami anak-anak tahu nama itu dan apa artinya.

Singkat kata kami sampai di kebun salak, di atas lereng landai bukit, dengan jarak tanaman rapi sehingga celah antar-baris seperti gang lurus terbuka. Kami tinggal memilih dan memetik. Tanpa parang pun bisa. Buah salaknya masir seolah dagingnya berpasir.

Lalu tiba-tiba dari arah puncak bukit datang beberapa pria membawa pentungan dan meneriaki kami sebagai bocah-bocah maling.

Kami berhamburan menyelamatkan diri. Saya tak tahu bagaimana bisa menemukan jalan, bahkan melompati parit yang dalam keadaan biasa tidak mampu saya lakukan, lalu akhirnya kami berkumpul di titik jumpa yang aman tanpa kesepakatan.

Sungguh pengalaman yang sangat menakutkan dalam hidup saya. Teman saya ternyata berbohong. Itu bukan kebun pakliknya.

Dondong apa salak bukan untuk pencuri

*) Saya baru melihat tempat yang dia sebut itu tiga puluh dua tahun kemudian saat berkeliling bersama adik-adik saya. Sembir adalah kampung terpencil di balik bukit yang menjadi lokalisasi pelacuran. Tempatnya di Sarirejo, jauh dari kota.

Ketika belum jamak ojek, dulu orang yang akan ke sana bercerita akan berjalan kaki dari jalan dulu raya di Bugel (antara Salatiga dan Beringin), atau menyewa mobil semacam Desoto, Dodge, dan Austin yang mangkal di dekat Taman Sari di kota.

Seisi kota tahu, bilamana malam datang dan mobil bergerak ke utara pasti akan ke pelacuran di balik bukit, yang kata orang tanpa listrik, di Alaska. Pemimpinnya bernama Pak Samad, dikenal baik oleh seorang sastrawan dan budayawan asal Salatiga, yang menyebut si lurah palanyahan itu papi.

2 Comments

Katamase Sabtu 5 Desember 2020 ~ 20.11 Reply

Hahahaha klo saya pengalaman dikejar sebagai pencuri tebu. Jadi diskusi juga, kenapa mandor tebu harus marah pdhal paling satu anak ambil dua batang tebu. Sedangkan lahannya luas banget, sak hohah.

Pemilik Blog Minggu 6 Desember 2020 ~ 15.23 Reply

Kalau ada seribu anak? 🙈

Tinggalkan Balasan