Kadang informasi dalam font seragam pada layar elektronik kios pulsa, apalagi teksnya tak berlari, itu membosankan. Nah, cara kampung ini bagi saya nyeni karena masih percaya kepada tulisan tangan. Soal pemutakhiran data tinggal menghapus tulisan spidol pada whiteboard.
Tata letak huruf tulisan pada papan ini mengenal prioritas. Ada yang menjadi semacam headline. Jadi, si pembuat tak menggambar tabel seperti gaya Pemprov DKI Jakarta.
Konon kreativitas itu mahal. Tapi hari gini kan banyak contoh di internet. Tak seperti dulu, era kertas, jelajah mata sangat terbatas. Sekarang warga, katakanlah, di Kampung Pengilon, Salatiga, Jateng, punya akses yang sama dengan warga Nu Yok, Amrik, maupun warga Taumata-whaka-tangihangako-auauotamateat-uripukakapiki-maungahoronukupo-kaiwhenua-kitanatahu, alias Taumata Hill, di North Island, Selandia Baru.
Maaf nama kota saya penggal,dan sangat mungkin salah, padahal hal ini menyalahi prinsip penulisan nama orang, tempat, dan lembaga. Saya tidak tahu bagaimana para editor dan desainer grafis menyiasati nama kota ini terutama jika lebar kolom body text terbatas.
¬ Foto papan info Covid-19 DKI: CNBC Indonesia
3 Comments
soal nama tempat, ada namanya Fucking, di Austria yang tahun depan bakal diganti.. https://www.dw.com/en/austrian-village-of-fucking-decides-to-change-its-name/a-55740967
nanti rute menarik berkendara dari: Kissing 🇩🇪 – Petting 🇩🇪 – Fucking 🇦🇹 – Wedding 🇩🇪 jadi tidak ada lagi (bisa dicek di Peta Google)
Tak kira trayek jurusan angkot, ternyata nama satu tempat beneran… 😂
Kalo nama trayek di Indonesia, itu sudah antarkota antarprovinsi, rute berangkat dan pulang berbeda karena muter 😀