Stasiun radio tidak punah. Semua orang tahu. Kenapa hayo?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Radio transistor Ralin jadul tahun 1960-an dijual Rp750.000

Hari ini saya tak menyetel Spotify maupun apalagi Apple Music yang saya langgani tapi ternyata kerap saya abaikan. Sejak pagi sebelum pukul enam saya nyalakan pengaliran radio di laptop saya. Lalu saya hubungkan ke spiker nirkabel yang kadang saya pindahkan ke teras. Cuma satu stasiun, Most FM milik Mahaka, di bawah Eric Thohir.

Kenapa stasiun yang itu ya karena cocok sesuai usia. Selain Most adalah Brava milik MRA-nya Adiguna Sutowo, mertua Dian Sastro.

Bukankah di Spotify juga ada podcast? Radio juga? Begitu pula Apple Music? Mmmm… rasanya radio beneran lebih menemani. Soal persepsi sih, karena saya kadung mengenal beberapa stasiun konvensional. Apalagi kalau ada laporan singkat lalu lintas — padahal saya di rumah saja.

Dari web dan aplikasi TuneIn kadang saya dengar radio, terutama dulu. Bisa dengar radio daerah secara acak. Mendengar dari Radio Garden di ponsel tanpa spiker tambahan kadang juga nikmat, misalnya dulu saat tidur di kantor, supaya cepat terlelap karena ada suara kemeresek seperti radio transistor.

Secara iseng, saat akan mengakhiri posting ini (di Blogombal versi baru saya selalu ngeblog dari ponsel), posisi di Radio Garden saya arahkan ke Timor Leste. Ternyata Radio Liberdale 98,5 FM di Dili. Stasiun itu memutar lagu Letto “Ruang Rindu”.

Maka saat ini di teras ada dua suara, yang satu Most dari spiker bundar, yang lainnya noise dari Dili.

¬ Sumber gambar: Galeri Oma Vintage Store

5 thoughts on “Menyetel radio sejak pagi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *