Dari kalender asuransi celoteh saya mengalir sampai ke buruh linting menggugat perusahaan rokok Sampoerna karena wajah dipakai untuk iklan.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Siang tadi, di meja kantor depan sebuah bengkel itu ada kalender, bergambar nona-nona — anggap saja begitu, siapa tahu sudah ada yang jadi nyonya — yang semuanya tersenyum. Ternyata itu kalender dari sebuah maskapai asuransi*.

Memang begitulah, simbol asuransi adalah payung. Sedia payung sebelum bingung, itu maunya.

Siapa sih yang jadi model?

Menyangkut foto promosi perusahaan, saya dulu sampai remaja mengira mereka adalah karyawati perusahaan — kecuali kalau yang menjadi model adalah artis yang saya kenal. Tepatnya: saya ketahui nama dan wajahnya.

Foto-foto pramugari dalam iklan maskapai penerbangan dan resepsionis hotel pun dulu selalu saya sangka pramugari dan pegawai hotel. Padahal belum tentu. Dalam kasus kalender asuransi saya juga tak dapat memastikan siapa para model.

Memang sih ada perusahaan yang menggunakan orang dalam sebagai model**. Media termasuk penggemar orang dalam untuk foto dan video rubrik. Maka belasan tahun silam di sebuah majalah, Mbak Sekretaris yang sering jadi model suatu kali, dengan sepertiga bercanda dan dua pertiga berharap, minta subsidi meni pedi, bedak, dan gincu.

Perawatan kuku dan jari tangan penting karena sebagai talent dia sering hanya difoto tangannya, sedang memegang barang yang dibahas dalam majalah, atau jari telunjuknya sedang memencet tombol.

Lho kenapa tak main embat saja dari internet? Ada tiga alasan.

Pertama, untuk kebutuhan cetak membutuhkan foto beresolusi tinggi. Bank foto saat itu, apalagi yang gratis, belum tentu menyediakannya, apalagi untuk wajah Asiatik.

Maka lihatlah, dulu pagar proyek properti sering menggunakan hasil cetak digital wajah bule padahal tak menyasar ekspatriat — maksud saya ekspat Kaukasian. Tim visual inginkan cara yang murah dan secara legal diasumsikan aman. Sekarang sih ada beragam tarif foto berbayar, demikian pula varian gratis di bawah Creative Commons.

Kedua, main comot foto dari internet berisiko somasi. Ini menyangkut hak cipta.

Ketiga, dalam kasus Mbak Sekretaris tadi, kantornya memang memiliki studio mini. Mas Pemred ingin memanfaatkan sumber daya yang ada secara efisien (= murah) dan efektif (= sesuai storyboard perencanaan visual) berdasarkan kesepakatan.

Akan tetapi jika tanpa model release, urusan foto, apalagi untuk kepentingan komersial (karena majalah dijual), bisa jadi batu sandungan. Untunglah Mbak Sekretaris tak menjadikan foto dirinya sebagai perkara hukum.

Kasus foto marching band Sampoerna

Dulu tahun 1980-1990-an PT H.M. Sampoerna, sebelum dimiliki Philip Morris International, terkenal karena punya marching band (MB). Untuk pencitraan korporat ada film iklan versi bioskop, syuting di Gunung Bromo.

Para anggota MB itu adalah karyawan perusahaan. Maka dalam salah versi iklan cetak Sampoerna Mild ada foto perempuan anggota MB, dengan kapsi itu si Anu, karyawati bagian produksi rokok kretek.

Sungguh sebuah pesan kehumasan yang menyentuh. Publik akan mencernanya sebagai sebagai informasi bahwa perusahaan memfasilitasi kebutuhan aktualisasi karyawan di luar urusan produksi.

Di kemudian hari si karyawati, Nasriah namanya, buruh linting, pada 1992 menggugat perusahaan Rp200 juta karena memublikasikan foto dirinya tanpa permisi padahal untuk kepentingan komersial. Dia kalah.

*) Istilah maskapai tak hanya berlaku untuk penerbangan tetapi juga asuransi; perusahaan dagang dalam bahasa Belanda disebut handel-maatschappij

**) Karyawan dan karyawati sebagai model, bukan untuk iklan, juga pernah dilakukan di sebuah kasino di Samudra Hindia milik pengusaha Jakarta asal Solo, karena tak mungkin memotret para penjudi

¬ Foto perlengkapan marching band Sampoerna dari blog Everything but Ordinary

2 thoughts on “Nona-nona berpayung di meja bengkel

  1. kalo di Berlin saya sering juga lihat model produk dan jenama sini, malah banyak model orang berkulit hitam, paman.. ada juga sih model bule, tapi kalo dihitung-hitung, fifty-fifty.. mungkin karena di Berlin, lebih beragam, ngga semua “bule”..

    soal marching band itu, saya pernah melihatnya di Museum House of Sampoerna, Surabaya..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *