- Sudah mendingan, Indonesia menata penjualan minol
- Cukai itu perlu untuk kenikmatan yang membahayakan
- Nuradi raja iklan akhirnya tak mau menggarap iklan bir
Saya dapat hadiah bir, dikirim ke rumah, lebih dari sebotol. Mereknya saya baru dengar, berbau Jerman dan ternyata memang benar. Kaltenberg dari Bavaria.
Sabar, ini bukan posting berbayar atau titipan. Saya cuma bercerita ringan soal bir, yang kata para penyuka bikin santai dan riang, apalagi kalau ada pelawak — lalu salah seorang mendendangkan “Bir Temulawak”.
Kaltenberg Indonesia ini adalah lisensi yang dipegang oleh grup Orang Tua. Pabriknya di Klepu, Bawen, Kabupaten Semarang, Jateng.
Indonesia telat mengontrol minol
Sebelum terbit Permendag No. 20 Tahun 2014, dan perda sejumlah kota tak mengatur, minuman beralkohol (minol), terutama bir, mudah didapat. Di warung, minimarket, dan rombong rokok juga tersedia.
Mungkin karena bir dianggap paling rendah kandungan alkoholnya, di bawah lima persen, lagi pula cukainya paling murah, semua orang menganggap enteng. Bahkan warung di dekat sekolah pun menjualnya.
Lalu setelah ada regulasi, produsen bir bikin mirip bir dengan alkohol nol persen. Misalnya Bintang Zero. Mungkin untuk membiasakan calon konsumen di bawah 21 tahun.
Akan tetapi ada juga kasus sebaliknya, jauh hari sebelum ada Permendag. Mulanya beralkohol, sekitar dua persen, lalu jadi nol persen. Itulah Green Sands yang dulu pakai buntut Shandy.
Selain pengaturan, minol dan produk tembakau memang layak dikenai cukai. Bukan pabriknya yang bayar tapi konsumen.
Pembuat iklan bir akhirnya ogah bikin lagi
Iklan Anker di atas adalah versi baru, cuma mengulang versi akhir 1960-an sampai medio 1970-an,tapi hanya mengambil separuh slogan. Versi lama: ini bir baru, ini baru bir. Agensi yang menggarap adalah Intervista, pelopor periklanan modern Indonesia, pimpinan Pak Nuradi. Agensi menjadi alma mater sejumlah tokoh periklanan Indonesia.
Di kemudian hari Pak Nuradi tak mau menggarap iklan bir. Saat saya tanyakan kepadanya, dalam sebuah wawancara di eks-kantor Intervista, Buncit, Jaksel, 1992, ada jawaban menarik.
Suatu siang, di kantor Intervista yang lain di Cikini, Jakpus, dia melihat anak SMP tawuran. Mereka menggunakan botol bir yang pantatnya telah dipecahkan sebagai senjata. Ada anak yang terluka di matanya. Pak Nuradi ngeri. Dia sadar, selama penjualan bir tak diatur ketat, bahaya semacam itu akan terulang. Maka dia memutuskan tak menggarap iklan bir.
Sosok Anker memang kontroversial. Saham pembuatnya, PT Delta Djakarta Tbk., ikut dimiliki oleh Pemprov DKI karena mewarisi perusahaan Belanda. Partai yang kurang sreg dengan keterlibatan BUMD DKI itu antara lain PKS. Wajar, karena bir bertentangan dengan syariat.
Bir versi Edy Tanzil
Ya, Eddy Tanzil, buron legendaris itu, selain pernah merakit motor Kawasaki dan kendaraan beroda tiga bajaj juga pernah memegang lisensi bir tjap koentji — sebutan zaman kolonial untuk Beck’s, bir dari Jerman, tahun 1980-an. Tapi di pasar bir itu cuma jadi juru kunci, lalu akhirnya cabut diri.
Bir memang punya aneka ceceran cerita. Yang pasti itu minuman untuk orang dewasa. Remaja dilarang meminumnya. Maka peringatan dalam iklan bir tahun 1980-an berbunyi “bir minuman orang dewasa, bukan untuk menunjukkan seseorang telah dewasa”.
Nah, mendadak saya teringat sesuatu. Saya menduga teman saya yang dulu menancapkan tutup demi tutup botol bir di aspal jalan itu melakukannya setelah dewasa, menjadi mahasiswa yang nyambi jadi wartawan di Jakarta — dia akhirnya menjadi direktur penerbit majalah. Dia dulu kerap begadang di Pasar Mayestik, Jaksel, sambil ngebir. Tutup botol bir menjadi medali tebar.
Saya belum tahu datanya, belakangan ini ada beberapa merek bir, dan minol lain misalnya anggur dan wiski, buatan Bali — di luar minol tradisional. Diego Indonesia pun membuka kantor di Tabanan. Apakah karena di sana destinasi wisata yang perdanya lebih permisif terhadap minol?
Soal lain, karena bir untuk orang dewasa, pemiliknya harus menjaga agar isi botol tak dikonsumsi anak-anak. Caranya bukan dengan mengunci lemari melainkan mengunci tutup botol bir maupun minol lain yang lebih galak dengan kode angka kombinasi tiga digit.
Sebagai pemungkas kepenatan Anda membaca posting ini, ada anekdot tentang Tanri Abeng, saat dia menjadi CEO PT Multi Bintang Tbk. (awal 1990-an), perusahaan yang memegang lisensi Heineken dari Belanda.
Suatu kali sejawat saya mewawancarai dia, kenapa sebagai seorang Muslim dia memimpin pabrik bir.
Jawaban Tanri kurang lebih, “Saya tidak bisa berbahasa Belanda tapi memimpin perusahaan Belanda, dan nggak ada masalah, kan?”
¬ Kredit gambar di luar Kaltenberg: Anker oleh Delta Jakarta, infografik oleh Lokadata.id dan Akurat.co, Beck’s oleh Beck’s, Stark oleh Straek Craft Beer, dan tutup botol oleh Jakarta Notebook
¬ Terima kasih untuk seorang kawan yang dapat menemukan arsip majalah Jakarta Jakarta edisi 322 (29 Agustus – 4 September 1992)
2 Comments
bir Beck’s ini saya lihat cukup digemari juga di sini, paman. kata teman kantor, orang Eropa, pernah mencoba bir bintang dan bilang suka karena rasanya manis, waktu tau saya dari Indonesia.
soal usia minum bir, di Jerman, usia 14 tahun boleh minum bir dan wine, ditemani ortu; usia 16 tahun boleh minum tanpa ortu: 18 tahun boleh minum sembarang minol.
Oh baru tahu saya, usia 14 sudah boleh minum bir. Dasar negeri bir ya, sampai punya festival setahun sekali 😊