Jangan masygul jika putra putri tak cakap berhitung. Paling bijak adalah menghubungi Pak RT kalau dia dosen psikologi.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Saya memang mata duitan. Kalau ditawari Rp100.000 dan Rp50.000, masing-masing selembar, dan harus memilih salah satu, saya memilih uang merah. Normal, kan?

Meskipun demikian saya sering sulit membedakan uang kertas pecahan Rp2.000 dan Rp20.000 terutama dalam gelap. Maka saya akhirnya mengambinghitamkan desainer uang dan penanda tangan uang kertas — padahal saat bocah saya ingin menduduki jabatan itu.

Nilai matematika 4 dalam ijazah

Baiklah, saya akui. Saya bermasalah dengan angka. Saya memiliki aritmofobia dalam diri. Nilai berhitung garis miring matematika saya di ijazah SD adalah 4 — untung ada nilai-nilai bagus, bahkan ada yang pol, sehingga saya tak dianggap bodoh parah. Waktu kelas tiga SD saya menangis ketika Bapak mendampingi saya mengerjakan PR berhitung. Ibu pun bersusah hati.

Selain lamban berhitung, saya juga sulit membaca angka tanpa dipisahkan titik atau koma. Untunglah konfirmasi di internet banking menyertakan titik pecahan sebelum saya klik OK. Saya bersyukur lembar isian transfer di bank dan dokumen hukum mencantumkan penyebutan bilangan nominal uang dalam kata-kata. Saya terbantu.

Selain itu saya selalu heran mengapa sebagian besar uang kertas tak mencantumkan pemisah desimal — kalau angka tak bulat, misalnya dalam koin, pasti pakai. Untuk perangko dan meterai juga tak memakai titik, untunglah sejauh ini cuma empat digit.

Maka ketika membaca lalu akan menulis nilai sesuatu yang 1234567890 USD, urusan tak selesai dengan konversi ke rupiah di Google. Angka itu akan saya salin ke teks ASCII lalu saya pisahkan setiap tiga digit dari belakang dengan spasi.

Memalukan memang. Mungkin karena aritmofobia itulah saya menyukai visualisasi data dan perbandingan sebagai jembatan keledai.

Mengingat bilangan dan nomor itu masalah bagi saya

Mengingat angka merupakan urusan sulit bagi saya kecuali ada maknanya, atau saya hubungkan dengan makna tertentu. Untunglah saya hafal nomor ponsel saya padahal tak pernah menelepon ke nomor itu. Eh, pernah ding: setiap kali saya kehilangan ponsel. Mengingat nomor rekening bank? Cuma bisa satu, itu pun harus belajar keras — memang sih tanpa darah, peluh, maupun airmata — lagi pula yang aktif hanya rekening yang itu.

Kalau pun bisa mengingat ancar-ancar kurs dollar hari ini saya tetap tak bisa menghitung awangan harga Naim Uniti Star All-in-One Network Streamer, DAC & Amplifier yang 4.990 USD — jenama ini dulu saya sangka milik Haji Naim. Bukannya tinggal membulatkan angka dollar Amrik menjadi 5.000 lalu mengalikan 15.000?

Mudah bagi Anda. Sulit bagi saya. Bahkan misalnya kurs 1 USD = Rp10.000 pun saya harus memakai alat bantu untuk mengonversi, atau berpikir lama dengan mengucapkan angka. Lalu setelah itu pun harus menata angka desimal. Memalukan. Eh, menyedihkan.

Bagaimana jika anak Anda seperti saya dan Mas Insinyur itu?

Ternyata dalam perkara desimal itu saya tak sendiri. Baru setelah tua, tahun lalu, saya beroleh pengakuan dari seorang periset, tamatan S2 studi pertahanan, dengan S1 dari teknik industri ITB, bahwa dia pun direpoti oleh angka panjang tanpa pemisah desimal.

Saya lega. Tak sendiri.

Maka jika Anda putra atau putri Anda bermasalah dengan Anda, ahhh… silakan Anda isi sendiri. Anda dan psikolog lebih tahu.

4 thoughts on “Saya selalu kerepotan dengan angka, tapi akhirnya lega

  1. untungnya saya tidak bermasalah dengan angka. tapi soal membedakan uang 2 ribu dan 20 ribu, itu masalah semua orang.

    soal angka, terutama uang, saya masih belum terbiasa mengenali uang koin, terutama yang tembaga dan kuningan. apalagi kalo ketemu rekan dari Inggris atau Amerika. dime, penny, pusing karena sejak awal kita, eh saya, tidak mengenalnya.

    untuk lembar Euro, untungnya si desainer cukup paham, dan membedakan dengan warna dan ukuran. termasuk huruf timbul braile.

    1. Aha! Saya punya teman dalam urusan uang Rp2.000 dan Rp20.000!

      Soal koin, kalau di negeri lain saya juga bingung. Kadang saya taruh semua koin di telapak tangan agar penjual ambil sendiri — dengan catatan: kalau dalam sangkaan saya dia jujur.

      Desain uang memang harus begitu, perbedaan warna dan ukuran itu jelas, bahkan mungkin bagi orang yang buta warna. Uang bisa dibaca tunanetra itu bagus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *