Baru pekan ini dia lewat lagi. Dengan suara khas: tek tek tek tek. Sekira tiga bulan terakhir selama Covid-19 dia tak menjajakan bakmi gerobak yang menyediakan nasi goreng. Ketika kami tanya, dia bilang pulang kampung, ke Sukoharjo atau mana gitu pokoknya Jateng. Malam ini kami menghentikan dia dan memesan bakmi rebus.
Setahu saya, dia itu tukang bakmi yang biasanya, sudah likuran tahun berjualan keliling. Dan baru tadi saya tanya namanya. Ternyata Dartono. Tapi menurut istri saya, ini orang yang berbeda dari tukang bakmi yang kami kenal dan oleh beberapa tetangga dipanggil Pakde. Sudah enam bulan kami tak membeli bakminya, seingat saya sih harga seporsi tak sampai Rp20.000.
Bagi saya, masakan dia kali ini tak seenak biasanya. Tapi kata istri saya enak, mungkin karena dia menambahkan kecap dan acar bawang putih dari toko.
Di luar urusan rasa, saya terkesan lampu petromaks dia. Tentu pakai elpiji, yang kecerlangan cahayanya kalah dari minyak tanah yang harus dipompa. Ring untuk kaca lampu sudah berkarat, dan ditemani lempengan kaleng bundar yang juga berkarat. Lempengan berlubang itu untuk tabir cahaya agar tak menyilaukan saat dia memasak maupun mendorong gerobak.
Setelah tiga piring pesanan jadi, anak saya pun bertanya berapa. Dia bilang, “Empat puluh (ribu rupiah).” Ketika ditanya ulang, jawabnya sama.
Gerobak bakmi lain menjual seporsi Rp16.000. Misalnya Pak Dartono menjual Rp15.000 pun, untuk tiga porsi mestinya bukan Rp40.000. Tapi dia enggan menjelaskan.
2 Comments
mungkin paman dapat harga cashback
Bisa jadi dan semoga besok juga.
#ngelunjak