Saya pernah empat tahun lebih bekerja di sebuah kantor media di Jatibaru, Petojo Selatan, Gambir, Jakpus. Makan siang selalu tersedia dari jasa boga. Tamu yang singgah silakan ambil. Satpam dalam maupun luar, juga anak cleaning service, pun dapat.
Setiap Senin menunya berbeda, bukan dari perusahaan katering melainkan rumah makan. Bisa KFC, Hokben, Pagi Sore, Bakmi GM, dan seterusnya yang saya tak ingat.
Tapi apakah semua orang mensyukuri hal yang tak diatur dalam hukum ketenagakerjaan itu? Saya tak tahu karena tak membuat survei yang memang bukan kewenangan saya. Lagi pula, pada sisi yang terdalam, rasa bersyukur itu merupakan hubungan pribadi seseorang dengan Sang Pemberi Kehidupan.
Di luar pasal spiritual, saya di kantor sebelumnya saya juga mendapatkan makan siang gratis, masak sendiri, tamu boleh menikmati. Suatu siang saya dan seorang sohib bersantap bersama sepenuh takzim, tanpa berceloteh. Lalu datanglah Kakang Mbarep (kakak nomor satu) yang mendengus sambil menahan tawa, “Lha ndèkna yèn dipakani padha anteng.”
Artinya: “Lha ternyata kalau diempanin, kalian itu anteng.” Pencerahan yang menampar. Maka lihatlah catatan kaki dalam gambar punggung kaus sebagai pengingat: makan secara santun itu baik. Kalau makan dengan santun itu salah ketik, maksudnya santan.
One Comment
soalnya kalo makan sambil ngomong bisa tersedak, paman 🤭