Orang bisa minta THR kepada pihak yang bukan pemberi kerja. Ada yang kita penuhi dengan senang hati, ada yang kita tolak dengan ucapan terima kasih, bukan maaf.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Pagi tadi loper koran menyerahkan kertas kepada istri saya setelah membuka percakapan dengan tanya, “Sudah terima proposal saya, Bu?”

Oh, proposal. Isinya, si loper minta THR, mirip tahun lalu, ada isian tangan. Ini karena saya melanggani paket koran digital, e-paper, dan cetak. Nah, cetak melibatkan loper.

Mestinya sih THR itu jatah bos dia. Ya, bos yang agen tunggal maupun agen ganda karena selain mengageni koran juga elpiji dan air galon, sekalian jual pulsa.

Surat itu loper bikin sendiri. Nomornya: IX. Mungkin dia terkesan oleh Maklumat X dari Bung Hatta, yang X-nya bukan sepuluh. Atau terkesan Article 19 yang dulu ditulis Article IX. Eh bisa juga dia merujuk Covid-19. Eh bisa jadi juga dia penggemar band metal progresif Symphony X.

THR dari pihak lain

Soal THR dari pemberi kerja sudah diatur pemerintah. Kalau THR dari bukan pemberi kerja tentu tak diatur.

Dalam praktik kita semua tahu untuk siapa saja THR. Asisten rumah tangga tanpa perjanjian kerja pasti berhak. Terlalu kalau tidak kita beri. Begitu juga sopir pribadi.

Selebihnya adalah keikhlasan untuk siapa saja yang mempermudah pekerjaan kita padahal sudah diberi THR oleh pemberi kerja. Sopir mobil antar jemput anak sekolah sampai petugas truk sampah pemkot (atau kontraktor pemkot) termasuk itu.

Itu semua lumrah. Jamak. Tapi ada juga yang mengundang tanya. Dulu saya berkantor di bilangan Kota. Saya beberapa kali melihat setiap mendekati Lebaran, tempat hiburan dan panti pijat yang tutup karena selama Ramadan, didatangi aneka laskar dan aparat keamanan beragam korps.

Mereka menunggu di depan pintu lipat yang tertutup sambil menelepon. Pernah saya ditatap dengan sorot mata tajam oleh seorang dari dua orang berseragam militer yang memarkir mobil dinas di depan pintu karaoke merangkap panti pijat di Lokasari, Mangga Besar, Jakarta Barat, karena saya berdiri diam sejauh enam meter dari mereka.

Kalau anggota laskar partai sih lebih santai. Ketika saya lewat dekat mereka dan tersenyum, salah seorang bilang, “Biasalah mau Lebaran.”

Maaf atau terima kasih?

Hari-hari ini, mendekati Lebaran, ada saja orang datang. Ada yang sopan bahkan berlagak memelas padahal badan sehat dan gagah, ada yang bermuka batu langsung tunjukkan map, dan ada pula (dulu) yang sok menggertak. Tak jelas orang mana, yang pasti bukan dari lingkungan saya.

Jawaban saya untuk mereka membuat istri saya heran karena saya seperti kurang paham berbahasa.

Saya selalu bertanya, “Ada masalah apa, Pak (atau Bu)?”

Setelah mereka bilang minta sumbangan, saya katakan, “Oh, terima kasih. Nggak.”

Kalau mereka mengulangi permintaan, saya bilang, “Tadi sudah. Terima kasih ya.”

Kadang ada yang ngeyel, “Lho yang tadi beda lagi, Pak!”

Saya menyahut, “Terima kasih!”