↻ Lama baca 2 menit ↬

Foto jurnalistik Kompas cetak masih unggul

Dari katakanlah 69 foto jepretan pewarta foto Kompas per hari, yang lolos seleksi redaksi itu sisa berapa banyak yang tak termuat, dan hanya menjadi khazanah redaksi antara lain untuk dijual?

Saya tak tahu. Redaksi di Palmerah lebih tahu urusan dapur mereka. Arbain Rambey, yang pernah menjadi redaktur foto, pasti lebih tahu.

Kompas yang saya maksud adalah koran cetak dan e-paper plus versi web dan aplikasi Kompas.id.

Foto jurnalistik Kompas cetak masih unggul

Emang apa sih bedanya dari Kompas.com? Isinya beda. Juga, menurut seseorang saat dia masih bekerja di salah satu dari kedua versi top level domain (TLD; .com dan .id) alamat situs Kompas, “Orangnya beda, gajinya juga.”

Kemewahan Kompas

Baiklah. Soal renumerasi Palmerah, apalagi zaman kejayaan media cetak, itu urusan internal. Sekarang yang menjadi pertanyaan, berapa jumlah pewarta foto Kompas? Silakan lihat boks redaksi – tapi nama yang muncul adalah yang sudah diangkat jadi karyawan tetap.

Kompas termasuk media yang punya kemewahan, punya sejumlah fotografer bagus dan mampu menggaji. Ketika media lain belum pakai drone, koran itu sudah pakai. Sudut pandang aerial secara sip dipakai untuk memotret rumah Yenti Garnasih (2015), ahli hukum pidana pencucian uang, dalam rubrik Gaya Hidup. Padahal waktu itu drone untuk memotret massa berunjuk rasa belum dipakai semua media.

Foto jurnalistik Kompas cetak masih unggul

Tentu tak berarti di luar Kompas tak ada foto bagus. Antara Foto, milik Antara (perusahaan umum kantor berita, milik pemerintah), juga punya. Karya para alumni didikan Galeri Foto Jurnalistik Antara dan Oscar Motuloh juga ciamik punya. Tempo juga punya fotografer bagus sejak dulu. Dan jangan lupa sejumlah pewarta foto yang bekerja untuk kantor berita asing dan yang memiliki agensi sendiri juga top. Demikian pula para freelancers.

Saya menyebutkan hal-hal barusan untuk mengatakan bahwa foto jurnalistik Kompas bukan segalanya, tapi dia tetap utama dan selalu diperhitungkan.

Tapi siapa yang melihat?

Foto jurnalistik Kompas cetak masih unggul

Entah berapa tiras Kompas cetak sekarang, dan berapa pula pembacanya, digabung dengan versi web dan aplikasi, plus e-paper.

Kesan saya Kompas cetak dan Kompas.id bukan lagi rujukan banyak orang, antara lain karena harus membayar. Bagi pembaca, ngapain bayar toh situs berita gratis seperti rambutan di pohon – kalau sedang musim, sih. Tinggal petik.

Nah, kalau menyangkut foto Kompas.id, apalagi koran Kompas, berapa banyak mata yang melihat?

Dari sisi sebaran foto, pasokan dari Antara Foto lebih luas. Dipakai oleh banyak media yang melanggani. Jika ditambah versi ilegal – asal ambil, oleh situs berita; ada sih yang sopan, mencantumkan atribusi – sebaran dari Antara Foto jauh lebih banyak menatap mata.

Memang, Kompas menjual fotonya. Per lembar (digital) Rp300.000. Tempo juga, kalau tak salah Rp500.000 per foto. Bagi situs berita yang ingin tetap menghormati hak cipta, harga eceran tersebut lebih mahal bila dibandingkan melanggani Antara Foto, saya lupa berapa per bulan, tapi dalam sehari bisa lima puluh foto.

Di Tempo, semuanya di bawah atap yang sama, sehingga foto majalah Tempo dan Koran Tempo bisa muncul di situs Tempo.co. Tapi tidak untuk Kompas. Beda TLD beda foto.

Menggiring selera, untuk sementara

Kalau saja Kompas mau jual paket murah maka koleksi fotonya yang tak tampil di koran dan situs versi dot id bisa muncul di di banyak media. Bisa melatih mata lebih banyak pembaca. Juga menambah rujukan bagi siapa pun yang meminati foto jurnalistik.

Atau dalam istilah sok keren, pun belagu bin pongah, bisa mendiktekan selera fotografi jurnalistik ala Palmerah ke banyak mata.

Foto jurnalistik Kompas cetak masih unggul

Pada tahap tertentu, mereka yang merasa didikte akan melawan, dan mengembangkan gaya sendiri. Artinya, dunia foto jurnalistik Indonesia akan semakin kaya.