↻ Lama baca 2 menit ↬

Mungkin di kantor jasa logistik ada data posisi geografis si pengirim paket, seorang pelapak. Bukankah alamat penerima paket juga terpetakan?

E-dagang memang menumbuhkan UMKM. Penjual barang swakriya murah, berbahan pipa akrilik, ini tinggal di sebuah rumah kontrakan milik seorang haji. Entah ada berapa pintu – karena satuan dalam bisnis rumah kontrakan deret adalah pintu – alamat si penjual ditulis di pintu tengah.

Untuk ancar-ancar, si pelapak menyebutkan informasi lokasi di bawah pohon asam.

Yang penting si pelapak komunikatif, cepat dalam melayani pemesan, barang seusai deskripsi dan foto di lapak daring.

Lokasi nyempil, bisa legal maupun ilegal

Dua bulan lalu saya membutuhkan selembar akrilik seluas sekitar 2 x 1 meter, tebal 2 mm, tapi tak ada layanan antar. Saya mengontak penjual via WhatsApp dan telepon setelah mendapatkan info dari Google.

Lalu saya datangi penjual dengan bantuan Google Maps, melalui jalan off road, mengulang rute tiga kali, akhirnya si penjual menugasi istri menjemput saya yang memarkir mobil di depan kantor kelurahan. Lalu si nyonya dengan motornya memandu saya. Akhirnya saya tiba di jalan buntu di sebelah lahan kosong. Seturun dari mobil lalu mendatangi rumah yang menjadi bengkel eh workshop itu, sol sandal gunung saya menebal karena tanah basah.

Uh, repot juga. Seperti beli barang ilegal. Padahal ini barang halal. Tapi tukang di rumah saya sudah menunggu. Kalau saya beli ke Jakarta pasti kena macet pergi dan pulang, sampai rumah malam.

Barang yang tampaknya ilegal pernah saya minati 30 tahun lalu di sebuah rumah tripleks, pada suatu malam, di tengah kebun pisang dan singkong, di Jaksel. Hanya ada jalan tanah, gelap, jarang ada rumah. Setiap kelokan dijaga prajurit sebuah korps pasukan komando berseragam lapangan.

Ada saja mobil yang mendatangi tempat itu. Dalam rumah berdinding tripleks berlantai semen, yang asap rokoknya dari dalam terlihat mengepul keluar karena lampu dari dalam, ada aneka produk elektronik: TV, video, dan audio. Oh kulkas juga ada. Semuanya masih baru, dalam kardus, menyesaki rumah. Harga 40-60 persen toko. Penjual dan penjaga tak menyukai pembeli yang banyak tanya, dan selalu menyergah, “Udahlah, jadi ambil nggak?”

Saya sempat mendengar bisikan dari seorang pembeli kepada temannya, “Ini barang dari pelabuhan. Asbaknya di sini.” Asbak adalah sebutan jadul untuk tukang tadah.

Jasa terpelajar, seperti transaksi narkoba

Dua puluh tahun lalu saya dikejar tenggat, harus mencari penerjemah dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia, tak harus tersumpah.

Saat itu scanner bisa OCR tapi mesin penerjemah secara online belum berkembang. Dari bahasa Belanda ke Inggris saja, setahu saya, belum ada.

Saya lupa dari mana dapat informasi, akhirnya menghubungi seorang penerjemah. Dia bilang bisa. Lalu bersama seorang sejawat saya datangi dia.

Saat itu belum ada ponsel dengan GPS. Sebelum berangkat saya tengok dulu peta Jakarta bikinan orang Jerman, Gunther W. Holtorf.

Malam itu, sekitar pukul sepuluh, motor kami kagok menembus labirin sebuah kampung padat di Jaksel. Berkali-kali kami tersesat dan harus menelepon si penerjemah. Akhirnya kami berhenti di sebuah perempatan gang gelap. Motor tak mungkin lanjut karena bisa bikin bising warga yang labirinnya lebih sempit.

Akhirnya sang penerjemah muncul dari gang gelap. Bahan kami berikan untuk dia pelajari. Lalu esoknya dia menelepon saya, mengabari soal harga. Kami sepakat.

Hasilnya? Bukan karena dia penerjemah tak tersumpah, tapi hasil kerjanya berupa naskah dalam bahasa Indonesia yang amburadul, bikin saya menyumpah. Dalam hati, sih.