Di halaman yang sama, dalam judul yang berbeda, ada “memitigasi” dan “negosiasi”, padahal keduanya kata kerja (Kompas, 29/2020) . Maksud saya, “menegosiasikan” itu kata kerja, namun ketika tanpa awalan dan akhiran jadilah kata benda.
Apa boleh bikin, bahasa Indonesia belum menyerap “negotiate” menjadi negosiat atau apalah, pokoknya tanpa imbuhan supaya ringkas. Itu urusan bahasawan.
Ekonomi kata dalam judul
Lumrah jika media cetak menggunakan kata kerja tanpa imbuhan dalam judul. Supaya tak berboros karakter.
Saya tak tahu sejarahnya. Saya hanya sotoy menduga hal itu warisan zaman cetak. Dulu pada era handpress dan letterpress ukuran fon (pengindonesiaan font) sudah baku sekian poin (point, punt, pt). Menjejalkan aksara timah melebihi kouta dalam matris akan merepotkan.
Asal tak keterlaluan selisih ukuran tinggi dan lebar huruf, era phototypesetting dan kemudian desktop publishing (DTP) lebih gampang dalam mengurangi ukuran, namun harus mendengarkan masukan redaktur tulisan dan kepala bagian artistik. Penambahan karakter dalam judul berarti menambah ruang, akan mengikis kaveling teks berparagraf.
Pada era teknologi cetak lama, yakni timah, tak mungkin memperkecil ukuran fon dari 48 pt menjadi 45 pt, apalagi merampingkan jadi 95 persen. Semua ukuran sudah pasti.
Tetap ada batas, gunting jadi perkakas editorial
Meskipun teknologi cetak offset menjadikan urusan produksi lebih mudah dan cepat, redaktur era lama harus paham ukuran ruang judul.
Di kantor redaksi Berita Nasional, Gondomanan, Yogyakarta, para akhir 1980-an, saya melihat di balik kaca meja seorang redaktur ada panduan jumlah huruf untuk berita utama. Sebaris pol judul utama (headline) akan selebar berapa sentimeter.
Saya lupa apakah judul utama dulu menggunakan huruf kapital semua, seperti koran Semarang Suara Merdeka zaman lawas, ataukah gabungan dengan onderkast (lowercase, huruf kecil).
Dalam penerbitan media digital, keribetan macam itu tak ada lagi. Urusannya tinggal enak apa tidak agar judul dalam laman web tak terlalu panjang.
Kembali ke mistar ukuran fon dalam era koran yang saya contohkan, saat itu belum semua koran menggunakan cara terintegrasi sejak penulis hingga tim tata letak. Masih banyak naskah ditulis pakai mesin tik manual dalam kertas khusus yang memuat perkiraan ukuran kolom teks setelah terbit.
Artinya, awak redaksi menulis di atas kertas untuk kemudian diketik ulang (bukan dengan pemindai OCR) oleh petugas setting. Cut and paste dalam arti harfiah, dengan naskah penuh coretan kode penyuntingan, adalah urusan rutin. Redaktur juga bekerja dengan gunting.
Print out mesin dot matrix pun mengalami hal yang sama. Beberapa tahun kemudian desktop publishing koran bisa mengimpor teks digital dari… disket!
Saat itu floppy disk lima seperempat inci, yang bisa buat berkipas-kipas, dianggap maju, sehingga muncul julukan diri nan pongah dari sebagian jurnalis: bukan kuli tinta namun kuli disket. Karena belum semua redaksi berjejaring komputer, sampai akhir 1990-an sneakers network masih berlangsung. Disket ditenteng ke operator DTP.
Urusan negosiasi
Lalu bagaimana dengan judul dalam contoh, yang memuat “negosiasi” itu?
Tak perlu akal-akalan tipografis. Menurut hemat maupun boros saya, cukup membuang kata “pemerintah” dari depan “RI”.
Dalam judul berita lain, yang memuat kata “memitigasi” juga tak ada kata “pemerintah”. Cukup “RI”.
Akan tetapi judul “RI Terus Menegosiasi Arab Saudi” malah berkemungkinan menjadi tiga baris, bukan? Iya sih. Itulah kerepotan media cetak.
Soal membesut urusan tipografi masih bisa sih – sambil menyalahkan bahasa Indonesia kenapa boros karakter untuk kata jadian. Misalnya dalam kata “mempertanggungjawabkan”.
Eh, tapi kata dalam bahasa Jerman kadang juga boros karakter ding.
*) Menulis ulang posting, karena naskah yang saya tulis Sabtu (29/2/2020) lenyap akibat WordPress sedang mabuk.
~ Foto disket via Wikimedia Commons (CC0)