Mahal, kelas menengah bangga, nah itu bagus – kecuali bagi kaum semprul

Gaya hidup kelas menengah yang peduli hal bagus itu bisa mahal. Bersikap mendua, dan mewujudkannya dalam konsumsi, adalah hal biasa. Dibilang semprul ya biarin.

▒ Lama baca 2 menit

Kentang organik yang menolong petani lokal di Hero PIM Jakarta

Lebih dari sekali saya dengar, kelas menengah itu penggerak perubahan. Juga lebih dari sekali dengar, produk yang punya kepedulian ini dan itu hanya cocok buat kelas menengah. Bungkus kentang diet yang meyakinkan konsumen menolong petani lokal mungkin termasuk itu.

Lalu kelas menengah itu siapa? Abaikan dulu soal batasan dari sisi apa pun.

Kentang organik yang menolong petani lokal di Hero PIM Jakarta

Saya teringat seseorang yang saya lupa, pernah bilang bahwa kepedulian kelas menengah memang perlu digerakkan agar menular. Misalnya isu lingkungan, HAM, demokrasi, dan keadilan ekonomi.

Saya ingat komentar saya sambil menguap, apa pun yang jadi gaya hidup kelas menengah bakal ditiru kelompok dengan kesejahteraan di bawah menengah tengah maupun atas – tapi dengan catatan kalau harga terjangkau.

Kentang organik yang menolong petani lokal di Hero PIM Jakarta

Saya lupa tanggapan orang yang saya lupa siapa itu dan orang lainnya. Saya cuma ingat ada yang nyeletuk, “Jangan sinis dong.”

Saya sih tak merasa sinistis. Di lain waktu saya sering membatin tiap kali melihat produk ramah lingkungan dan kesehatan tak pernah dihargai lebih murah. Dari sayur organik berserfikat sampai tisu kecokelatan. Lha iya wong biaya produksi lebih mahal.

Sedotan minuman dari bahan singkong di Convivium Jakarta Selatan

Sayur organik tak bisa cepat dan banyak panennya. Maka hal itu perlu dinyatakan dalam kemasan.

Biaya daur ulang kertas sehingga menjadi tisu kecokelatan tanpa klorin juga mahal. Begitu pula biaya produksi penyedot berbahan singkong.

Tisu kecokelatan hasil daur ulang di Ocha & Bella Jakarta Pusat

Masih banyak contoh. Ada isu pestisida. Biji kopi fair trade. Wadah makanan dan minuman dari karton. Kosmetika tanpa uji coba kepada binatang – tapi langsung ke kulit konsumen, kata orang sinis yang lebih suka disebut skeptis.

Semuanya, dalam praduga saya, menyasar kaum apa-yang-disebut-sebagai kelas menengah.

Selalu mendua

Saya sendiri tak tahu apakah termasuk kelas menengah. Kalau pun iya, mungkin di lower bukan middle apalagi upper.

Di kelas mana pun posisi saya, tetap saja mendua dalam konsumsi. Asalkan mudah apalagi murah maka saya ambil.

Baju dan celana murah, lokal maupun bikinan Bangladesh, asal cocok untuk menggantikan yang rusak, saya beli tanpa peduli upah buruh di sana. Ketika beberapa tahun lalu banyak buruh mati terpanggang di pabrik, yang sebagian pemiliknya adalah anggota parlemen Bangladesh, saya toh cepat lupa.

Begitu pun dulu banget ketika buruh pabrik pembuat Nike di Indonesia jadi contoh upah rendah, saya toh tak membeli Nike karena mahal. Ketika dulu sekali pabrik Trebor mencemari sungai toh saya tak menolak ketika ditawari permen berjenama itu.

Kelas semprul

Tak lebih tak kurang saya memang konsumen semprul di garis mana pun posisi saya dalam kelas sosial.

Kalau pun saya belum pernah mengerahkan orang untuk antre obralan tengah malam, hal itu karena saya tak mampu beli. Namun saya salut kepada flash sale yang membatasi jumlah pembelian, karena penjual ingin lebih banyak konsumen yang terlibat dan meramaikan program. Artinya saya berpeluang dapat barang didiskon 85 persen.

Memang sih saya khawatir kalau kelas menengah yang lebih sejahtera ternyata sama semprulnya dengan saya.

Semprul karena tidak bisa total bergaya hidup yang peduli hal-hal baik. Pesan makanan via Go-Food yang diwadahi Styrofoam pun saya lakukan.

Gaya hidup baik kadang lebih mahal ketimbang yang asal-asalan. Padahal saya ingin bergaya.