↻ Lama baca 2 menit ↬

Memetik pohon kersen di depan Terminal Pinangranti Jakarta Timur

Anak perempuan itu berjinjit, tangan kirinya menarik ranting pohon, lalu tangan kanan memetik buah kersen atau talok (Muntingia calabura). Adiknya mengamati dan menantikan tangan kakaknya memberikan kersen.

Satu ranting rendah akhirnya tak menyisakan kersen. Lalu ibu mereka, yang lebih tinggi, menggantikan si kakak di cabang lain.

Sambil menantikan angkot ke Terminal Kampung Rambutan, keluarga itu menikmati keteduhan pohon kersen di depan Terminal Pinangranti, Jaktim. Jarak kedua terminal itu sekitar lima kilometer.

Saya adalah satu dari enam orang yang berteduh di bawah pohon kersen itu, menghindar dari sengatan sinar mentari siang itu. Saya memotret aktivitas mereka. Tanpa permisi.

Pengalaman berpohon

Saat mengamati mereka, pikiran saya merambat ke pengalaman masa kecil.

Saya beruntung, mengalami memanjat pohon dan memetik buah. Tak semuanya di halaman rumah sendiri. Ada gandaria, rambutan, manggis, belimbing, dan entah apa lagi. Ada yang saya dapatkan tanpa memanjat. Salah satunya ya kersen.

Saya tak hendak menyimpulkan pengalaman masa kecil saya lebih kaya daripada anak-anak saya yang kini telah dewasa. Kalau berbeda, itu pasti. Karena saya dan orangtua saya pasti juga berbeda.

Maka terhadap kejadian keluarga memetik kersen itu saya mensyukuri kehadiran pohon peneduh di pinggir jalan. Buahnya dapat dimakan manusia maupun burung.

Akan tetapi ketika rumah-rumah kian mengecil dan halamannya kian memyempit, masih adakah tempat untuk pohon?

Tak apa bila rumah tak berpohon, hanya ada pot bunga. Yang penting masih ada pohon di pinggir jalan dan di taman.

Oh, pinggir jalan?

Jika jalan itu di kompleks perumahan, belum tentu ada pohon peneduh. Maka pengalaman berpohon pun berkurang.

Pak Lurah beli drone

Lingkungan di sekitar rumah saya berubah. Yang dulu sawah dan empang sudah jadi rumah. Yang dulu kebun dan ladang kini sudah menjadi jalan tol JORR dan sekian ragam clusters perumahan.

Saya tak mencermati berapa tahun sekali peta Google diperbarui. Namun lurah, camat, dan wali kota atau bupati di mana pun mestinya dapat menugasi orang untuk membandingkan foto satelit dari tebaran pohon yang terfoto.

Atau Pak Lurah beli drone berkamera untuk mendapatkan foto aerial. Kalau tak ada dana, mintalah kepada wali kota.

Dari hasil foto dapat dilakukan evaluasi tentang vegetasi di wilayah kewenangannya.

Pak Camat juga melakukan evaluasi. Begitu pun Pak Wali atau Pak Bupati.

Dari sana penataan lingkungan mestinya bisa lebih bagus.