Mata saya menangkap mur baut di atas jalan beraspal saat saya jalan kaki pagi tadi. Ambil atau biarkan ya?
Sampai akhir abad lalu saya masih memungutnya, lalu saya bawa pulang, kemudian saya masukkan ke kotak perkakas. Siapa tahu berguna.
Namanya juga siapa tahu. Ternyata dari sebelas kali butuh hanya sekali terpenuhi. Lalu kebiasaan yang diajarkan bapak dan simbah kakung saya itu tak berlanjut.
Ladam atawa sepatu kuda
Waktu kecil saya paling suka jika menemukan ladam kuda di jalan. Pasti terlepas dari kuku kaki kuda penghela dokar.
Tapi saya tak memasangnya di kusen pintu. Setelah saya bawa pulang lalu saya buang. Memakukan ladam di kusen jati itu sulit, lagi pula pasti akan dimarahi orang tua.
Yang sering saya lihat, pemasangan ladam di kusen hanya berlaku untuk rumah rendah dengan kayu jati atau nangka telanjang – rumah kami dulu bangunan sok bergaya kolonial: tinggi, begitu pula kusen jendela dan pintu. Katanya itu lambang keberuntungan.
Kalau sekrup dan paku di jalan , kata bapak dan simbah, sebaiknya diambil. Selain bisa berguna di rumah juga menyelamatkan kaki orang maupun ban kendaraan dari tercoblos.
Bukan kena batunya, tapi sekrupnya
Benar. Baut tergeletak bisa menusuk ban. Dua kali saya mengalami di jalan tol karena ban mobil kurang angin. Baut hampir sejengkal, masih berkilat, menusuk dan merobek ban. Harus ganti ban.
Kalau ban mobil terkena paku bengkok dan paku berulir di jalan mencoblos ban, saya sudah beberapa kali mengalami.
Cuilan batok kelapa juga tajam. Suatu malam ban Vespa saya tertusuk batok setelah melewati gang pedagang di belakang Pasar Palmerah, Jakarta Pusat. Repot juga.
Alhamdulillah hingga kini saya belum mengalami terkena ranjau paku, yang telanjang maupun yang ditutupi daun. Jahat sekali pelakunya.
Terpujilah tim Saber yang menyapu ranjau paku dari jalan raya.