Mata angin tetap perlu untuk lihat peta. Bagusnya aplikasi memberi kemudahan: ikuti saja jalan lurus.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Toko prima abadi sebelah selatan pasar Demangan Yogyakarta

Sebenarnya bukan hanya di Yogyakarta. Teman saya yang orang Sala* juga pakai ancar-ancar mata angin. Maka wajar jika toko ini meneruskan kebiasaan: papan nama memuat “Selatan Pasar Demangan”.**

Teman saya yang orang Sala lalu hijrah ke Jakarta itu memberi ancar-ancar sebuah tempat, sebelum era Google Maps, “Masé ke utara, lalu belok ke barat, habis itu belok ke utara lagi, lurus, ada pertigaan belok ke timur.”

Saya lupa itu daerah mana, pokoknya di Jakarta. Yang jelas saya langsung pusing. Lalu saya minta arahan lurus, kanan, kiri. Lebih mudah.

Tapi ancar-ancar berdasarkan mata angin bisa melekat sebagai gelar. Misalnya Sutawijaya bergelar Mas Ngabèhi Loring Pasar. Lor berarti utara***. Dialah Panembahan Senopati, pendiri dinasti Mataram Islam.

*) Ya, Solo. Surakarta.

**) Sebenarnya di Jakarta juga. Iklan perumahan tahun 1990-an sering menyebut “di timur Jakarta” dan “di selatan Jakarta”. Artinya bukan di Jaktim dan Jaksel. Itu di Bekasi dan Tangerang.

***) Maka ikon kompas dalam peta modern orang Jawa berisi huruf N saja untuk masing-masing arah utama: ngalor, ngétan, ngidul, ngulon.