Selama tiga puluh menit saya di kedai itu, tetangga meja terus melakukan video chat. Ketika saya datang, dia sudah mengobrol video, dengan empat gelas kosong di mejanya. Ponsel dia pasang di tripod, tegak memijak ubin.
Lalu apa masalah saya? Tidak ada. Saya hanya geli terhadap diri sendiri.
Saya tak terbiasa dengan video call. Sejak dulu. Bahkan cara bertelepon saya tak berubah sejak abad lalu: menempelkan handset ke telinga.
Bluetooth saat berkendara? Kalau terpaksa. Itu pun jarang. Kalau ada penumpang, saya lebih suka dia mengangkatkan ponsel saya.
Tampaknya saya juga tidak akan bisa vlogging dengan memunculkan tampang. Malu.