↻ Lama baca 3 menit ↬
Salah satu tonggak komik dan kartun Indonesia lima dekade itu telah pergi. Dia kartunis yang beruntung, kata Seno Gumira Ajidarma. Tito Sigilipoe/Antyo® /Beritagar.id

Dwi Koendoro Brotoatmodjo (1941–2019), yang berpulang pagi tadi (22/8/2019), adalah kartunis yang beruntung.

Demikian menurut sastrawan dan penelaah komik Seno Gumira Ajidarma (61).

Kata Seno kepada Beritagar.id, “Sebagai kartunis Dwi Koen tergolong beruntung, karena sempat berjaya bersama media (massa) cetak, khususnya harian Kompas, dan kondisi hidup semasa Orba malah cocok untuk kartunis, karena banyaknya kesalahan dan ketakutan yang harus diungkap.”

Seno lanjutkan, “Semasa pasca-Reformasi ketajaman kritik tertelan hiruk pikuk hamun maki di jalanan dan medsos; dan hari-hari ini mungkin Dwi Koen mengalami juga Sandyakala ning Kartun yang ‘neraka katut‘ dengan meredupnya kuasa dan daya media massa cetak.”

Pasemon sebagai cara

Dwi Koen adalah salah satu tonggak rujukan penyuka dan praktisi komik serta kartun di Indonesia. Tokoh Panji Koming adalah Dwi Koen dan begitu pula sebaliknya.

Koming, singkatan Kompas Minggu, muncul pertama 14 Oktober 1979. Dia hadir bersama Pailul, ada pula Denmas Aria Kendor, Nimas Dyah Gembili, dan Ni Woro Ciblon.

Mereka semua, kecuali Denmas, adalah wakil rakyat biasa dengan latar Majapahit. Ada pula tokoh kakek, Mbah, kadang menjadi pembawa suara bening — mirip begawan.

Strip bersih, sebagian besar tanpa latar alam dan bangunan, dan dulu tanpa raster abu, selalu mengkritik kehidupan sosial dan pemerintah Indonesia masa kini dengan cara halus. Pasemon, menurut bahasa Jawa. Artinya sindiran, alusi, kilatan.

Dwi Koen pernah berujar kepada saya, pasemon adalah cara yang pas untuk mengkritik. Dia tak menyangkal bahwa sebagai orang Jawa dirinya tak lepas dari itu.

Jawa, bagi Dwi Koen, bukan hanya tutur keseharian dengan sesama orang Jawa. Mas Dwi, demikian saya menyapa, masih menggunakan kata diparingi (diberi) dan didukani (dimarahi) jika menyangkut orang yang dia hormati. Padahal Mas Dwi sedang berbahasa Indonesia. Misalnya terhadap Jakob Oetama, P. Swantoro (1932-2019), dan Boediardjo (1921-1997).

P. Swantoro pula yang menjadi penutup serial Panji Koming, di Kompas Minggu, 18 Agustus 2019, lima hari sebelum sang kartunis kembali kepada Sang Pemberi Hidup.

Selain itu, Jakob dan Swantoro adalah orang yang pernah jadi atasan Dwi Koen selama 1976-1984, antara lain di Gramedia Film dan Kompas.

Orang lain yang sangat dihormati Dwi Koen adalah Nuradi, tokoh periklanan Indonesia, yang pernah menjadi bosnya di Intervista (1973-1976). “Dari Pak Nuradi saya banyak berguru, termasuk etos kerja dan etika bisnis,” katanya kepada saya suatu kali.

PENUTUP | Komik terakhir Panji Koming karya Dwi Koendoro di Kompas Minggu (18/8/2019), tentang P. Swantoro, pendiri Kompas Gramedia selain Jakob Oetama. Dwi Koendoro /Kompas

Terbuka terhadap gagasan

Dulu, belum zaman ponsel, kalau penerima telepon di kantor saya pada Jumat malam mengatakan Dwi Koen mau bicara berarti bakal ada diskusi ringan hahahihehe.

Beberapa kali saya, yang bukan awak koran Kompas, dimintai saran topik Panji Koming. “Piyé iki, kowé duwé ide? Aku buntu, malah lagi syuting, Tyo,” suatu malam dari seberang telepon suara itu meminta.

Kadang proses penggodokan ide via telepon itu cepat. Kadang bisa seperempat jam, tapi lebih banyak guyon di luar topik. Sebagai tanda terima kasih, Mas Dwi mencantumkan nama saya dalam kredit komik sebagai “Antyo JJ”.

Kerepotan menggagas Panji Koming menang soal pasemon itu. Bagaimana supaya pemerintah tak marah dan koran pemuatnya aman.

Maka sesudah reformasi saya pun kurang tertarik Panji Koming. Karena di mana saja orang bebas bicara apa saja dan bisa cengengesan ketika dipolisikan. Sindiran santun takkan dipedulikan.

MELIPIR | Cara mengkritik pemerintah pada zaman Orde Baru. Tidak bisa langsung kecuali koran siap diberangus. Dwi Koendoro /Kompas/Elex Media Komputindo

Legimin Bond

Selain Panji Koming, Mas Dwi juga menghasilkan karakter lain. Misalnya Sawung Kampret yang dimulai dari serial majalah Humor awak 1990-an.

Kemudian Sawung Kampret sempat jadi serial televisi dengan hak cipta oleh Mas Dwi dan istrinya, Cik Dewasih, yang menggunakan nama Cik Deka ketika mengisi ilustrasi majalah Bobo.

Keluarga itu memang akrab dengan komik, ilustrasi, dan animasi. Ketiga putra mereka mewarisi bakat orang tuanya. Misalnya Wahyu Ichwandardi alias Pinot (50).

Saya mengenal nama Dwi Koen pertama kali dari komik Legimin Bond*, dagelan pol, meledek James Bond, di majalah Stop atau mungkin Senang karena saya lupa yang mana.

Di kedua majalah itu Mas Dwi pernah menjadi pengarah artistik dan ilustrator. Kemudian dari beberapa karya di majalah humor Astaga, dia yang kadang memakai nama Ndoro Dwi Koen.

Ketika dalam suatu wawancara khusus saya mengingatkan Legimin Bond, Mas Dwi kaget: “Lho, masih ada yang ingat tokoh itu?”

Banyak cerita cengengesan

Wawancara khusus untuk Jakarta Jakarta tahun 1990-an itu tak semuanya dapat tertuang ke halaman tercetak karena memang di luar konteks atau memang peka.

Saya datang ke rumah Mas Dwi waktu itu, di Petukangan, Jakarta Selatan, diantar dan disopiri Rudy Badil (1945-2019) yang khatam Jakarta. Peta ada di benaknya.

Sebagai senior, Badil yang menolak disebut bos padahal dia pemimpin redaksi de facto, tak mau banyak mencampuri wawancara di ruang kerja Mas Dwi.

Selama saya mewawancara, Badil lebih sering mondar-mandir, membuka beraneka buku, mencomot camilan, dan sesekali nimbrung sekalian ngaco.

Ketika saya menyampaikan bahwa goresan Mas Dwi kadang mengingatkan saya kepada Charles Schulz (1922-2000), Badil pun memanas-manasi, “Piyé, Mas?”

Mas Dwi hanya tertawa. Berbeda, katanya. Tapi dia memang mengagumi Schulz, bapaknya Charlie Brown dan Snoopy.

Bisa saja tiba-tiba Badil menginterupsi dalam bahasa Jawa, “Mas, iku Tyo mesthi durung ngerti soal anu hahahaha…”

Lalu mereka berdua tertawa dan membocorkan cerita. Kadang Mas Dwi tertawa hampir merem.

Mereka juga saling mengonfirmasi bahwa visualisasi karakter Denmas Aria Kendor itu merujuk seseorang.

Dua orang jenaka itu, Mas Dwi dan Badil, telah pergi.

KENANGAN | Pailul, Dwi Koendoro, Rudy Badil, dan Antyo Rentjoko dalam halaman dalam buku “Panji Koming 1 (1979-1984)” terbitan Kompas dan Elex Media Komputindo, 1992. Dwi Koendoro /Kompas / Elex Media Komputindo

*) Bisa Legimin, bisa juga Wagimin, karena belum ditemukan arsip yang mendukung ingatan

Dimuat dalam Beritagar.id (Kamis, 22 Agustus 2029)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *