“Dia itu salah satu penulis prosa terbaik kita,” kata sastrawan Goenawan Mohamad (GM, 77) pagi ini kepada saya, mengenang almarhum Arswendo Atmowiloto (1948-2019).
Ada puluhan fiksi karya Wendo, panggilan almarhum, namun belum semuanya terjejak. Novel Semesra Merapi Merbabu, yang bermula dari cerita bersambung di koran Kompas awal 1970-an, pastilah bukan yang pertama. Demikian pula fiksi berbahasa Jawa.
Skripsi Supiyah (Universitas Negeri Semarang, 2009) mencatat ada 49 karya Wendo, termasuk tentu saja serial Keluarga Cemara dan Senopati Pamungkas. Sepuluh tahun kemudian, pada saat Wendo berpulang di Jakarta karena kanker prostat (19/7/2019), daftar karya itu tentu sudah bertambah. Misalnya versi Wikipedia Indonesia.
Menjadi paria sesaat
Tentang GM dan Wendo ada pertalian menarik. Ketika Wendo tersandung pasal penistaan agama (1990) — karena tabloid Monitor yang dia pimpin memuat daftar tokoh pilihan pembaca, namun Nabi Muhammad bukan urutan teratas — dia merasa jadi paria. Jadi orang yang layak dijauhi.
Begitu Wendo masuk sel sebagai tersangka, Kompas Gramedia (KG) langsung memecatnya, sebagai karyawan maupun wakil direktur Gramedia Majalah. Dalam sel, dia terjauhkan dari banyak kalangan.
Sebetulnya gambaran itu tak seluruhnya benar. Perusahaan tetap menjamin kesejahteraan keluarga Wendo dan memberikan perlindungan selama proses peradilan.
Di kemudian hari Wendo ingat, orang di luar sejawat dan di luar keluarga yang menjenguknya pertama di Rutan Salemba, Jakarta, adalah GM, pemimpin redaksi Tempo, majalah yang iklan edisi laporan utama kasus Wendo-Monitor ditolak Kompas. Padahal itu iklan rutin mingguan.
GM mengenang, “Kami ngobrol lama.” Wendo banyak bercerita anekdot penjara, termasuk seks. “Saya menengoknya bukan sebagai orang pers, tapi sebagai teman yang merasa banget dia diperlakukan tak adil,” kata GM.
Wendo dihukum lima tahun. Setalah bebas dia berstatus konsultan media di grup perusahaan Sudwikatmono, berkantor di Bintang Indonesia, Jakarta. Dia pernah mengatakan, ajaib juga dirinya bisa membuat tiga pemodal duduk satu meja: Sudwikatmono, Ciputra, dan Henry Pribadi.
Dalam wawancara oleh teman dan saya itu, Wendo juga bilang dia heran ketika diberi mobil dinas Volvo, padahal dia minta BMW sesuai standar di Palmerah, markas KG.
Penjara yang memperkaya
Lumrah, setiap bekas tahanan dan narapidana pasti bertambah pengalaman. Bagi Wendo, bui memberi kesempatan menghasilkan buku, termasuk beberapa buku kehidupan di balik penjara, dan sorotan terhadap praktik pemidanaan sehingga dia kerap jadi narasumber.
Ihwal tawar menawar hukuman, misalnya, dia ulang lagi dalam wawancara dengan Hukumonline (2003). Hakim pun menganggap biasa jika jaksa bernegosiasi dengan terdakwa. Agnes Sri Hartini, istri Wendo, menyerahkan cek kepada jaksa.
Sebagai narasumber soal penjara maupun pembicara aneka diskusi, Wendo yang gemar berkaus katun putih dengan kancing mirip babah itu selalu terkesan cengengesan. Kadang komentarnya sinis, dengan senyum mènjeb, tarikan bibir ke bawah, lalu disusul tawa terbahak.
Humor. Itulah sisi lain Wendo. Maka dia pernah menulis, yang terbit pada masa Orde Baru, tentang perbincangan sekelompok pria ihwal malam pengantin. Golkar, kekuatan monolitik pejal pada masanya, dia sebut sebagai singkatan “golongan kanan radikal” — artinya pria yang burungnya menengok ke kanan karena sejak kecil selalu diarahkan ke pangkal pipa celana yang sama.
Buku-buku Wendo tentang penjara telah memperluas pengenalan khalayak terhadap istilah dalam penjara. Misalnya abal-abal (napi kasta terendah) dan brengos (napi penguasa blok).
Namun dalam penjara Wendo disegani. Dia punya dua pengawal, napi juga, yang tak segan memukuli orang yang berjalan di depan Wendo saat si napi penulis itu berjalan. Alasan si bodyguard, “Dia ngalangin jalan, Bos.”
Di penjara, uang dan reputasi menentukan. Ketika saya diajak kawan bezoek ke penjara, Wendo bergurau, bisa saja minta bantuan Dicky Iskandar Dinata, tetangga sel yang terjerat kasus korupsi Bank Duta, untuk mendapatkan majalah Playboy dan Penthouse karena Dicky punya uang.
Mengarang itu gampang
Judul buku Wendo ini kemudian jadi kredo bagi para pemula: mengarang itu gampang. Terbit pada akhir 1980-an. Isinya panduan ringan.
Terhadap pertanyaan apakah penulis, sebagai seniman, harus nyentrik, dia menjawab tak usah. Yang penting adalah karya. Tak semua penulis harus meniru gaya bertopi Putu Wijaya atau baca puisi sambil ngebir seperti Sutardji Calzoum Bachri.
Lalu ada pembanding: GM, Sapardi Djoko Damono, dan Subagyo Sastrowardoyo tidak nyentrik: “Puisinya hebat, tulisannya berbobot, tapi hidup mereka sehari-hari wajar saja.” (hal. 147)
Bagi Wendo menulis memang gampang. Medio 1980-an, ketika laptop masih jarang, dia bisa rapat sambil menuntaskan cerita entah apa. Setelah tulisan terbit, juga entah apa nama yang dia pakai.
Tak selamanya Wendo menggunakan nama Arswendo — hasil pertukaran huruf dari nama asli Sarwendo. Dalam Opera Jakarta dan Opera Bulu Tangkis, misalnya, dia menggunakan nama Titi Nginung.
Ketika karya Titi Nginung itu menjadi cerber di Kompas, banyak pembaca sudah merasakan itu penuturan Wendo. Alurnya zig-zag. Temponya cepat. Namun dalam Canting, tentang keluarga juragan batik di Surakarta, Jawa Tengah, Wendo berusaha pelan. Kejawaan dia angkut, termasuk beberapa kata, misalnya tertawa nggleges.
Wendo juga pernah menggunakan nama Sukmo Sasmito untuk Sudesi (Sukses dengan Satu Istri), untuk cerita bersambung di Kompas setelah dia bebas. Di Suara Pembaruan, untuk cerber Auk, dia pakai Lani Biki — anagram untuk laki bini.
Pembesut majalah
Ada masa ketika Wendo dianggap piawai membidani media cetak, berupa majalah dan tabloid. Bisa terpahami karena saat dia memimpin Gramedia Majalah, dasawarsa 1980, peta industri media masih dicengkeram lisensi. Mulanya surat izin terbit (SIT) lalu menjadi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP).
Saat itu sulit bagi pemain baru, apalagi tanpa lisensi, untuk masuk pasar. Opsi yang mungkin adalah pemilik SIUPP menggandeng penerbit besar, yang punya jaringan distribusi kuat, dan produk induk berposisi tawar kuat dalam periklanan. Bisa menggandeng, atau bisa juga digandeng. Kadang klik petinggi Departemen Penerangan menjadi mak comblang.
Maka di era Wendo, yang pernah berhasil menghidupkan lagi majalah ber-SIUPP sendiri, Midi, menjadi Hai, produk majalah Palmerah terus berbiak. Di bawah Wendo ada likuran SIUPP. Monitor termasuk salah satu, namun pemilik SIUPP adalah yayasan di luar KG. Wendo ingin ada semacam TV Guide versi Indonesia.
Tentu tak semua penerbitan yang dikembangkan Wendo berhasil. Warta Pramuka, bekerja sama dengan Kwarnas Gerakan Pramuka, gagal.
Setelah Wendo keluar dari bui, dia bikin tabloid Dangdut, di bawah naungan Sudwikatmono. Gagal. Wendo pernah bilang, “Ternyata kultur dangdut itu bukan kultur baca.” Lalu Dangdut pun berganti nama Aura, untuk wanita.
Dimuat dalam Beritagar.id (Sabtu, 20 Juli 2019)