↻ Lama baca 2 menit ↬
KENYATAAN | Perbedaan ras diterima sebagai realitas dalam kehidupan dan bukan penghalang kerja sama. • Ilustras • © Frerieke /Flickr (CC BY-NC 2.0) | https://flic.kr/p/6y2

Rasisme dan rasialisme itu awet. Ibarat makhluk, sentimen negatif itu ada yang memiara, rajin memberi pakan. Di Moneta, Virginia, Amerika Serikat, penembakan terhadap dua jurnalis kemarin (26/8/2015) ditautkan dengan sakit hati Bryce Williams, si pelaku, karena pernah dihina secara rasial oleh salah satu korban. Ada latar isu rasial.

Rasisme memang aktual di Amerika. USA Today Juni lalu melaporkan, masalah kulit hitam Amerika harus menjadi prioritas bagi pemerintah. Dalam Wikipediarasisme di Amerika Serikat menjadi lema (entri). Adapun mesin konten The Huffington Post menyodorkan daftar “racism in America“.

Solidaritas dan solidaritas

Di Indonesia tampak gejala penggelundungan sentimen negatif terhadap masyarakat Tionghoa saat perekonomian dirasakan tak cerah. Maka di Change pekan ini muncul petisi untuk menangani penyebaran kebencian rasial di internet.

Sebelum ada petisi, lihat saja bagaimana sebagian orang menempatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tentulah Ahok bisa saja salah. Katakanlah dia ingkar janji sebagai Gubernur DKI Jakarta bahkan melakukan korupsi. Jika itu terjadi ya karena dia manusia; bukan karena dia Tionghoa, Kristen pula.

Sama saja dengan H. Abraham Lunggana (Lulung), Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Kalau misalkan dia terbukti melanggar hukum, itu bukan karena dia orang Betawi, muslim pula. Itu karena dia manusia: bisa melakukan kesalahan, baik lalai maupun sengaja.

Bagi yang tak menyukai Lulung, serasa ada alasan gurih untuk menyerang. Niat penyerangan karakter mendahului alasan. Sama seperti terhadap Ahok.

Terhadap orang lain yang tak kita sukai, kita bisa terpeleset ke dalam dua hal. Pertama: kita berharap hal yang tak menyenangkan, tapi kita yakini, akan terbukti. Kedua: kalau itu terjadi, sebagian dari kita dengan mudah akan mengaitkannya dengan latar kesukuan bahkan keagamaan.

Untuk keterpelesetan kedua, generalisasi latar belakang seseorang adalah menu paling gurih. Serasa ada korps lain yang menjadi musuh bersama. Lagi pula apapun yang dilakukan oleh musuh boleh dianggap salah.

Jika menyangkut kelompok lain, sudah jelas bahwa jumlah mereka besar, tak hanya satu-dua orang. Jumlah besar pihak lain diharapkan menggerakkan perlawanan kolektif atas nama solidaritas.

Padahal jika menyangkut solidaritas, aktivis hak sipil Amerika Bobby Seale (78) menyatakan, “Anda tak dapat melawan rasisme dengan rasisme. Cara terbaik melawannya adalah dengan solidaritas.”

Siapa yang minoritas?

Tentu soal numerik dalam isu mayoritas-minoritas itu bisa membingungkan. Jumlah keturunan Tionghoa di Indonesia  adalah 2,8 juta (Wikipedia, Sensus Penduduk 2010); namun menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, jumlahnya bisa mencapai 10 juta (BBC, 2014).

Lalu data tanpa tahun dalam laman Lembaga Pengembangan Adat Amungme dan Kamoro menyebutkan populasi orang Kamoro sekitar 18.000. Artinya lebih sedikit dari orang Tionghoa.

Perbandingan tadi memang bisa disebut ngaco karena tak memperhadapkan jumlah gabungan suku asli di Papua dengan gabungan suku-suku Tionghoa di Indonesia. Kenapa tak membandingkannya dengan orang Jawa yang 95 juta?

Persoalan utama memang bukan siapa banyak dan siapa sedikit. Ini soal janganlah dengan mudah menyalahkan pihak lain, apalagi berlaku buruk, karena perbedaan ras.

Eh, nanti dulu. Tentang istilah itu: rasisme atau rasialisme? John Simpson, editor Oxford English Dictionary Online, menyatakan kepada BBC (2007) bahwa kedua istilah itu samadan dapat dipertukarkan. Intinya sama: menganggap suatu ras lebih tinggi dari yang lain.

Dalam Oxford Dictionaries hari ini, lema racialism diarahkan ke racism. Adapun Webster mengartikan “racism” dalam dua hal. Pertama: perlakuan buruk maupun kekerasan terhadap orang lain karena rasnya. Kedua: kepercayaan bahwa sejumlah ras lebih baik ketimbang ras lainnya.

Siapa saja yang rasis/rasialis?

Budayawan Goenawan Mohamad menulis dalam Setelah Revolusi tak Ada Lagi (2005), “Jangan-jangan kita cenderung melupakan batas rasialisme negara dan rasialisme orang ramai sering kabur, atau, seperti penyakit, saling tular menular.”

Dimuat dalam Beritagar, Kamis  27 Agustus 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *