“Berita masa kini: begal dimana2… Ada yg tw kepanjangan Begal? Apa arti begal?” cuit akun @DzulfikarAllam1 (26 Februari 2015). Mungkin bagi sebagian orang, “begal” itu istilah baru karena sebelumnya jarang diucapkan.
Dua hari sebelumnya, akun @Aldi123Aldi, bercuit, “Arti dari begal apaan sih ?? bahasa apaan tuh…”
Pada hari yang sama, akun @A3_licious, mencuitkan percakapan, “Orangnya sama ‘@edi_eding_edoy: Beda arti :D’ ‘@A3_licious: Dulu namanya curanmor knp sekarang namanya jd begal sih @Bgenkridwan’.”
Seminggu sebelumnya (17 Februari 2015), akun @Yozi_dp menulis, “Istilah BEGAL sekarang udah mulai tren, apa arti sebenarnya sih begal itu?”
Pada 1999, sejawat saya di sebuah koran kota membuat denah alamat seorang rekan dan dia tambahkan penanda “sarang begal”. Orang-orang tertawa, ada yang berkomentar serasa bersua buku lawas.
Betulkah “begal” itu arkais karena jarang dipakai? Sampai awal 2000-an memang jarang media berita yang memakainya. Sejauh jejak terlihat, pada 22 Mei 2001, Liputan6.com membuat judul , “Pembegalan Sepeda Motor Marak di Lampung Timur“. Dalam tubuh berita, kata “begal” muncul sekali.
Setahun lebih kemudian (9 September 2002), Liputan6.com mewartakan “Memburu Penjahat, Polisi Justru Tewas Dihakimi Massa“; tubuh beritanya dua kali menyebutkan “begal”.
Saya belum mendapatkan contoh sejak kapan majalah Tempo, Koran Tempo, dan Tempo.co memakai “begal” untuk perampasan sepeda motor oleh bajingan. Menarik untuk dilirik karena penerbit ini memiliki reputasi dalam menggembalakan bahasa.
Kini kata “begal” ramai diucapkan dan ditulis. Seolah ingatan khalayak dikembalikan kepada kekayaan bahasa Indonesia untuk menamai kejahatan berupa pengambilan barang milik orang lain.
Begitu beragamnya kejahatan pengambilan tanpa hak itu — hukum pun mengakuinya — sehingga tanpa merujuk kamus pun mestinya setiap tamatan S-1 dapat membedakan pencurian, pencopetan, pengutilan, penodongan, penjarahan, perampokan, pembegalan, dst. Jangan sampai perampokan diartikan “pencurian siang hari”.
Hal sama terharapkan pula dari penamaan pelaku, misalnya maling, garong, kecu, rompak, dan lanun. Dua yang terakhir itu, yakni rompak dan lanun, berbeda atau sama? Guru bahasa yang baik pasti dapat menjelaskannya. Pun mereka tak akan bingung jika ditanya apa arti penyamun dalam Anak Perawan di Sarang Penyamun. Juga takkan pening mereka jika murid menanyakan maksud judul dan lirik lagu pop Malaysia, Hapuskan Lanun, Cetak Rompak (Ella & The Boys, 1986).
Kembali ke “begal”: nyatanya sebagian orang merasa asing dengan kata ini. Jika itu menyangkut orang berusia 35 tahun ke bawah, dan memiliki ponsel pintar (atau tablet) dengan RAM 1 gigabita ke atas, berapa banyakkah yang tak hanya memasang Twitter, Facebook, WhatsApp, dan Instagram, tapi juga kamus?
Kamus itu bisa kamus Inggris-Inggris, dan bisa pula kamus Indonesia (dari KBBI). Kalaupun tak dipasang, mungkin pemakainya berlebih kepercayaan kepada media sosial: tanyakan saja arti sebuah kata di sana ketimbang mencari sendiri — padahal belum tentu berjawab.
Antyo Rentjoko dalam Koran Tempo, Sabtu 27 Februari 2015