Musim Hujan Harap Main tanpa Alas Kaki (Sepatu)

▒ Lama baca 2 menit

maklumat di tembok halaman samping rumah oom wim jalan brigjen sudiarto salatiga

TENTANG SEBUAH RUMAH YANG PEKARANGANNYA JADI JALAN TEMBUS | Tulisan pada tembok itu membuat saya penasaran dan berpikir ke mana-mana. Apakah pernah tulisan setinggi kepala orang dewasa itu dipakai untuk pemotretan sampul CD atau buku? Boleh jadi untuk layar berfotoria? Atau untuk apa? Ah, bisa saja memang sebuah pengumuman biasa dari pemilik rumah untuk anak-anak. Pikiran saya saja yang ke mana-mana dan suka sok nyeni.

Sebentar. Tadi saya katakan “untuk anak-anak”, kan? Anak siapa? Saya tak tahu. Bisa anak atau cucu dari tuan dan nyonya rumah. Siapa tuan dan nyonyanya, saya tak kenal mereka tapi tahu namanya yaitu Oom dan Tante Wim, di Jalan Brigjen Sudiarto, Salatiga.

Bisa juga pengumuman bukan untuk anak dan cucu dalam keluarga itu karena pekarangan belakang rumah itu masih berpintu terbuka. Artinya orang dari Jalan Osa Maliki masih diperbolehkan meneruskan rute jalan pintas lintas generasi untuk menuju Jalan Brigjen Sudiarto. Artinya lagi ada kemungkinan anak-anak dari kampung Togaten di belakang rumah maupun kampung Kebonsari di depan rumah bertandang untuk bermain. Bisa jadi tulisan itu untuk mereka. Saya bicara kemungkinan karena tak meminta tabayun kepada pihak manapun.

Tiba-tiba saya menganggap rumah dan halaman itu aneh: hari gini di sebuah kota, meski bukan kota besar, masih ada orang mengizinkan lahannya yang diapit oleh dua jalan dilalui oleh orang, padahal tak ada untungnya bagi keluarga itu, karena warung Tante Wim yang pernah ada pun sudah tutup.

rumah oom wim jalan brigjen sudiarto salatiga jawa tengah

Pintu di tembok belakang yang menghadap Jalan Osa Maliki juga dikenal oleh sopir Isuzu, bus kecil, dan mobil angkot. Dia menjadi salah satu penanda, tetengar atau landmark orang lokal, untuk turun dari kendaraan. Awak angkutan dan penumpangnya mengenalnya sebagai “(pintu) seng”.

Keluarga itu tentu tak kenal saya, meski saya tahu nama Oom Wim dan tahu salah satu anaknya bernama Ging, pernah mengubah setang sepeda tanggungnya dengan setir mobil karena di rumah itu ada bengkel. Oom Wim sehari-hari bekerja menyopiri pikap entah Dodge entah Desoto entah merek apa, pokoknya mobil tahun 1950-an, dengan rute Dadapayam (Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang) – Salatiga PP. Mungkin hanya pikap miliknya yang melayani rute itu karena dulu tahun 60 sampai awal 70-an jarang ada angkutan umum.

Oom Wim sering bercelana khaki pendek, berkaos, dan berkalung handuk, plus bertopi (kalau tak salah model topi memancing, bucket hat). Dia tak kenal ayah saya namun suatu hari ayah saya memanfaatkan jasanya untuk mengantarkan barang dengan pikapnya. Si Oom terlambat, dan yang kami (keluarga saya) dengar dia berteriak dalam bahasa Belanda kepada ayah saya, “Pak Nathan, Pak Nathan! Ik ben bandenpech in Boyolali!”  Ban mobilnya bocor dan kempis.

Selebihnya tentang sosok si Oom saya tak tahu selain hanya tahu bahwa dia dulu termasuk orang pertama yang punya pesawat televisi di Salatiga pada 1960-an. Antena TV-nya tinggi sekali (agar dapat menangkap stasiun relay Gombel, Semarang), berlampu kelap-kelap, kalau malam tampak dari depan Geraja Katolik dan Markas Korem di Jalan Diponegoro, karena lahan di sana lebih tinggi dari kawasan alun-alun dan sekitarnya di dekat Oom Wim.

Aneh juga, dalam endapan memori saya ada saja hal-hal yang tak penting bagi orang lain, dan bagi saya pun antara penting dan tidak, tapi saya tak membiarkannya tergerus dari permukaan benak. Mungkin ini gejala penuaan yang melekati banyak orang: hanya bisa berbicara masa silam.

Mohon maaf untuk keluarga Oom Wim jika saya memotreti pekarangan tanpa izin, baik untuk tulisan ini maupun lainnya :)

maklumat di tembok halaman samping rumah oom wim jalan brigjen sudiarto salatiga

Tinggalkan Balasan