Tentang lorong, ah… hanya kesan saya. Sejak awal ini bukan lorong, tapi halaman. Karena diapit oleh rumah, dan beratap pula, maka seolah menjadi koridor. Sesungguhnya saya tak pernah merasakan kehadiran rumah ini karena kawasan itu memang wilayah jelajah saya. Karena ada spanduk nasi timlo Bu Ning maka saya pun jadi memperhatikannya.
Koridor dan sekitarnya memberi kesan “semilak” (bahasa Jawa; kurang lebih berarti tersibak, terang) padahal kanan, kiri, dan di latar belakang berisi rumah-rumah lama berdinding papan. Jepretan ini di Jalan Dokter Muwardi, Gendongan, Salatiga, Jateng. Tanpa spanduk timlo (sayangnya pagi itu belum buka sehingga saya tak dapat mencicipi), lorong ini seperti mengantarkan saya ke masa lalu, tempatnya mirip, tapi saya lupa di mana.
Perihal nama Gendongan, saya tak tahu asal usulnya apalagi artinya. Tapi saya ingat, ketika saya masih kecil selalu mengaitkan lagu Bing Slamet, Malam Minggu, dengan kampung ini: “Mau beli minuman, kantong kosong gendongan“. Itu melengkapi yang sebelumnya, “Aduh emak asyiknye, nonton dua-duaan. Kaye nyonye dan tuan, di Gendongan.”