JANDA (MUDA DAN CANTIK) DALAM KEHIDUPAN KITA | Punggung kaos itu memuat teks berukuran besar: “perawan memang menawan, janda lebih menggoda”. Si pemakai kaos berkelebat cepat dalam temaram senja di Pasar Kecapi, Jatiwarna, Bekasi. Saya tak dapat memotretnya.*
Kreatif benar penemu teks itu dalam bermain rima, pikir saya saat melihatnya pekan lalu. Kreatif dalam arti memainkan kata dengan menyerap ungkapan (yang seringkali tak lucu) dalam masyarakat kita: tentang dunia janda.
Baru tadi ketika membuka YouTube saya ditawari video Cita Citata, Perawan atau Janda. Saya teringat kaos itu. Video saya klik. Lirik pun terpampang selayaknya karaoke. Benar, kaos itu menyalin lagu.
»»» Oh ya, tulisan ini panjang. Urungkan niat meneruskan baca kalau Anda tak mau buang waktu. :)
Ada apa ya dengan janda?
Sebagai kata, janda itu netral. Janda berarti wanita yang tak bersuami karena diceraikan oleh suami (atau menceraikan suami) atau ditinggal mati suami. Status janda memiliki konsekuensi hukum – tentu, status marital lainnya juga memiliki urusan yang diatur oleh hukum.
Lalu apa saja wilayah pembahasan janda? Banyak. Ibu saya juga janda, kini usianya 81, ditinggal suami ke alam baka ketika Ibu berusia 65 dengan enam anak dan sepuluh cucu. Ibu saya ditemani menantu dan cucu di Yogyakarta, kadang mengeluhkan kesehatan dan masalah lain, tapi bisa juga kerap berkisah dengan tawa ceria. Hobinya mengisi TTS agar tak pikun dan melatih paduan suara karena sejak belia suka bernyanyi.
Ada kisah lain tentang janda. Teman SMA saya dulu di Salatiga tersinggung, lalu mendiamkan seorang teman kami, sebut saja Soman, selama sekian waktu karena Soman mendendangkan “Janda-janda di sana, Cuh! Cuh!” (entah lagu siapa, dia menirukan orang meludah). Ibu dari teman yang tersinggung itu adalah seorang janda dengan empat anak karena ditinggal wafat suami. Perilaku Soman kali itu jauh dari lucu.
Pembahasan tentang “janda pahlawan” dan “janda pejuang”, sejauh saya tahu, dan didukung oleh hasil googling, tak diwarnai pergunjingan aneh. Seringkali malah pembahasan berisi kesejahteraan dan perhatian dari pemerintah.
Janda muda dan asmara
Baiklah tak ada soal dengan janda yang tadi. Tapi kita merasakan bahwa kata “janda” dalam konteks tertentu berkelindan dengan kecantikan, asmara, dan kadang seks.
Saya ketikkan “janda” di Google.co.id, langsung mendapatkan saran “janda muda”, “janda kembang”, “janda kaya”, dan “janda bodong” – saran terakhir itu membuat saya bingung karena teringat pusar menyembul (bujal), dan akhirnya justru saya klik. Ternyata ada lagu berjudul Janda Bodong oleh Riana Oces (Lihat: YouTube dan Index Lirik Lagu). Bodong dalam lagu itu seperti bodong dalam pasar mobil dan motor: tak ada dokumen sah. Tepatnya: dokumen sebagai janda padahal sehari-hari tanpa suami.
Aku si janda bodong, suami minggat kecantol kalong
Istri bukan, janda bukan, statusku digantung-gantung
Aku si janda bodong, surat cerai kosong melompong
Istri bukan, janda bukan, nasibku digantung-gantung
Untuk perbincangan tentang janda muda dan kembang, besar kemungkinan bertaut dengan daya tarik ragawi. Klik saja pencarian gambar dengan “janda muda” dan “janda kembang” – atau cukup “janda” saja – dalam Google. Lihatlah hasilnya.
Lalu bandingkan dengan pencarian gambar dari kata “duda” yang tak menghasilkan pria-pria gagah tampan, malah ada wajah simpanse – untungnya tampan juga.
Eh, Google juga menganjurkan “duda araban” dan “duda araban koplo” – mulanya saya pikir “arabian”. Hasilnya adalah gambar-gambar perempuan – entahlah mereka koplo atau tidak. Dalam lagu itu kata “duda araban” hanya disebut sekali (Lihat: YouTube dan Lirik Tembang Tarling). Apakah maksudnya kawin kontrak dengan pria Timur Tengah di Puncak, Bogor (Lihat: Kompas)?
Tentang “janda kaya”, maafkanlah prasangka saya karena sebelumnya mengira infonya sangat dibutuhkan oleh para telemarketer (bisa pria, bisa wanita) produk lembaga keuangan. Namun ketika melihat saran di Google tampaknya beda. Mungkin infonya untuk sejumlah pemuda yang sedang mencari angel investor secara mudah, kalau perlu tanpa proposal apalagi portofolio.
Janda pasti kesepian dan haus seks?
Mendengar kata “janda kesepian” sebagian dari kita akan menautkannya dengan kebutuhan seksual yang tak terpenuhi karena tiada suami. Coba ketik di Google: “janda kesepian”, “janda hot”, dan “janda seksi”. Ada juga, maaf, “janda gatal” – pasti ini urusannya dermatolog. Hasil pencarian Google itu mewakili fantasi pria yang besar kemungkinan belum pernah menjadi janda – kecuali mereka bekas perempuan.
Patut diduga, tanpa survei, di antara pelarut fantasi tentang “janda kesepian yang hot” itu adalah remaja pria. Apa boleh buat, remaja pria bisa telat tertarik lawan jenis. Ketika cewek sebaya mulai memasang foto cowok idola, cowok masih memasang robot dan bintang NBA maupun bintang sepak bola dunia.
Celakanya ketika hasrat kodratinya mulai menanjak, sebagian remaja pria cenderung lebih suka membayangkan perempuan yang lebih dewasa, seringkali seusia tantenya, karena lebih membimbing sekaligus melindungi. Mungkin ini bentuk dorongan Oedipus-kompleks juga. Yah, cewek sebaya masih pada mentah dan lemah, cuma manja-centil-lucu, belum powerful seperti para mbak dan tante. :D
Jika seks bermakna luas, tak hanya sebatas kopulatif, sehingga perilaku janda untuk memancing perhatian lelaki muda adalah bagian dari seksualitas, rasanya lagu pop Jawa Mus Mulyadi zaman dahulu keterlaluan juga. Judulnya Randha Ngarep Omah (Janda Depan Rumah; Lihat YouTube dan lirik KapanLagi).
Lagu tentang janda berusia 57 ciptaan Is Haryanto itu muncul 1972 ketika Mulyadi berusia 27. Terjemahan liriknya:
Ada janda di depan rumahku
setiap kali melihatku dia senyum-senyum
Kalau dia sadar aku memperhatikannya
cara berjalannya pun kian dibuat-buat
Ref:
Kira-kira umurnya lima puluh tujuh
sudah hampir sebaya usia ibuku
Aku tak paham apa maksudnya
setiap sore aku dikirimi roti
Lama kelamaan hatiku pun gundah
Sering kali ingin sekali ke rumahnya
Kebetulan ibuku tahu semaunya
setiap kali roti datang dia kembalikan
Hatiku tenteram seperti sebelumnya
kalau dipikir-pikir aku tertawa sendiri
Aneh, dulu anak-anak kecil menyanyikannya dan tak ada orangtua yang menegur. Kalau lagu itu muncul sekarang mungkin ada yang memprotes. Waktu bocah saya memelesetkannya “ana andha ing ngarep omahku…” Artinya “ada tangga di depan rumahku…,” buat memanjat membetulkan atap.
Adapun janda versi Pancaran Sinar Petromaks, Fatimah (1978), meskipun penuh canda kalau terbitnya sekarang mungkin bisa dianggap melecehkan janda. Penggalan liriknya, sebagai penutup, “Fatimeh jande mude / Fatimeh jande kaye / Bikin rusak anak tetangge“.
Dari mana datangnya prasangka?
Saya tak tahu. Biarlah psikolog, antropolog, sejarawan, dan ahli kajian apa saja yang membedah datangnya prasangka (kalau bisa disebut prasangka) terhadap janda yang masih muda.
Pengertian muda tentu beda dari anak-anak. Menurut UU Perlindungan Anak, yang disebut anak itu belum 18 tahun. Memang UU Perkawinan membolehkan perempuan menikah setelah umurnya 16 tahun. Batas usia 16 tahun dari UU yang kelahirannya 22 tahun mendahului UU Perlindungan Anak itu sedang diujikan ke Mahkamah Konsitusi (Lihat: Hukumonline).
Apakah prasangka dan label khusus tentang janda muda itu datang dari pria? Boleh jadi. Tapi kalau perempuan ikut-ikutan melabeli, misalkan menganggap janda muda itu penggoda pria dan ancaman bagi kaum istri, bagaimana? Ah, anggap saja itu hasil penyetiran pikiran oleh patriarki. :P
Sebagai pria tentu saya terbiasa dengan bisikan maupun celetukan tentang janda yang berkait dengan asmara dan terlebih kebutuhan seks. “Masih seger, masih oke tuh. Terlalu muda sebagai janda,” ada yang bilang begitu. Maaf, tentu saja lontaran itu kalau terdengar oleh yang bersangkutan bisa menjadi delik aduan pelecehan seksual.
Sedangkan dari perempuan, lebih dari sekali saya mendengar semacam ini, “Mmm… ngaku aja, Abang pasti suka. Dia kan janda, muda lagi.” Ada pula, “Wah bahaya nih kalo tiba-tiba di lingkungan kita ada janda. Abang-abang kita harus dikendalikan.”
Tampaknya lebih penting mengendalikan ibu-ibu itu agar mengerem penghakiman. Teman saya, perempuan lajang, pernah tak nyaman ketika pindah ke sebuah kompleks perumahan karena mendapatkan prasangka serupa janda: penggoda lelaki, ancaman bagi kaum istri.
“Oh masih lajang? Bahaya nih, hihihi… Maaf lho Jeng, di sini kan udah married semua,” kata seorang ibu pemuka arisan dalam sebuah bazaar lingkungan ketika teman saya memperkenalkan diri. Taruh kata ada suami tertarik, masalahnya kan bukan pada si lajang maupun si janda. Masalah ada pada suami kenapa matanya tak dibebat oleh istri.
Apakah nanti ada lagu tentang perempuan lajang? Entahlah. Juga entah apakah sebelum hari ini juga pernah ada lagu tentang perempuan lajang. Tentang isu lajang, pencarian di Google sih memberikan sejumlah anjuran. Antara lain “wanita lajang suka pria beristri”. Kenapa ya mesin Google sampai mencatat hal itu?
Sedangkan dari kaum janda, lebih dari sekali saya mendengar bahwa pada awal menjanda mereka merasa sejumlah pria berubah menjadi genit. Tak hanya pria beristri ketika tanpa nyonya namun juga para pemuda.
Padahal masalah janda, apalagi yang beranak, seringkali lebih berat dari kaum ibu bersuami. Tak hanya ekonomi namun juga pendampingan anak, misalnya mengawal kehidupan anak-anak hingga mereka dewasa. “Emang masalah gue cuma laki? Boro-boro mikir laki, krzxcv kgtqwrdzf…” gerutu seorang janda.
Novel Aku Jalak bukan Jablay (Aira Miranty Dewi, 2012), yang berbonus CD lagu (Lihat: YouTube), menceritakan satu hal menarik. Si tokoh “aku”, namanya Miranty, janda, segera memutuskan pertemanan dengan pria beristri jika si pria enggan memperkenalkan si penulis kepada istrinya dengan kilah, “Wah, apa kata istri gue kalau gue kenalin ke elu yang janda, Mir? Ntar gue disangka macem-macem ama lu.” Miranty berkesimpulan, “Orang seperti itu biasanya tidak menghargai perempuan.” (hal. 124).
Jadi janda sering terposisikan tak enak sehingga perlu kiat mengatasinya. Saya teringat tuturan Waldjinah kepada Jakarta Jakarta tahun 90-an: dia menikah lagi supaya tak menimbulkan was-was di kalangan ibu-ibu yang menanggapnya menyanyi. Mereka ibu-ibu dari instansi pemerintah dan perusahaan (BUMN?).
Janda, duda, dan perceraian dalam lagu
Pengamat musik dan penekun arsip industri rekaman mungkin lebih tahu seberapa banyak lagu tentang janda, duda, dan perceraian.
Lagu cinta tentang perpisahan tentulah banyak. Liriknya bisa berlaku untuk orang pacaran maupun orang yang sudah/masih/pernah kawin.
Lagu cinta itu universal, ada di hampir semua bangsa dan bahasa. Untuk cinta dalam lagu pop, anak-anak ikut menyanyikannya meskipun belum waktunya. Namun sebetulnya aneh jika anak perempuan kecil meratap sakitnya dimadu lalu diceraikan oleh suami. Juga janggal ketika bocah laki belum disunat melolong ditinggal pergi bini karena tergoda pejantan lain yang rekeningnya lebih pejal berisi – misalkan lagu macam itu ada.
Lalu jika lagunya menceritakan keterpisahan dalam perkawinan, apakah semuanya menyebut kata “janda”, “cerai”, dan “duda”?
Dalam Bang Toyib (Lihat: YouTube dan Musiklib) jelas terucapkan “sadar-sadarlah Abang inget anak istrimu / cepat cepatlah pulang semua rindukanmu“. Sedangkan dalam Angka Satu oleh Caca Handika (Lihat: YouTube dan Gitalirik) tak eksplisit menyebut perkawinan dan perceraian namun dapat disimpulkan hal itu menimpa duda – padahal kasusnya bisa juga berlaku untuk pasangan yang serumah tanpa nikah.
Masak… masak sendiri
Makan… makan sendiri
Cuci baju sendiri
Tidurku sendiriAduh… duh duh duh… Oo…
Ingin rasanya diriku
bercinta seperti dulu
tapi ku takut gagal lagi
Jika menyangkut perkawinan, dan tendensi menjadi janda, tentu ada lagu lawas mendayu yang sebenarnya serius: Hati yang Luka (Betharia Sonata, 1987, ciptaan Obbie Messakh; Lihat: YouTube dan lirik di KapanLagi). Lagu ini lahir 17 tahun sebelum ada payung hukum bernama UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Lihatlah tanda merah di pipi
bekas gambar tanganmu
Sering kau lakukan
bila kau marah menutupi salahmu
[…]
Pulangkan saja
aku pada ibuku atau ayahku…
Eh, tapi kenapa ke “ibuku atau ayahku”? Apakah orangtua dari korban KDRT itu sudah berpisah bahkan bercerai?
Meski tak mengeluhkan kekerasan fisik ada juga lagu lain yang hanya meratapkan keluh dan sesal tapi tak kunjung ambil rencana tindakan. Lihatlah lirik lagu Tak Ingin Dimadu (Nia Daniaty, 1988, saat dia berusia 24; lagu ciptaan John Dayat & Iskandar; sampul kaset: Indolawas; lirik: KapanLagi). Ini adalah sebuah pernyataan awal, belum menyatakan rencana untuk minta cerai maupun kesiapan untuk menjanda.
Gaun biru pengantin
untuk apa dia berikan
Cincin emas pengikat
untuk apa dia selipkan
Sepatu dari kaca
untuk apa dia belikan
Benci aku dia ada yang punya
Ranjang biru pengantin
untuk apa dia pilihkan
Bulan madu ke Bali
untuk apa dia janjikan
Uang di sampul merah
untuk apa dia titipkan
Bila hatimu bercabang dua
#Uhuk! Selain cinta pembawa bahagia, dunia juga berisikan durjana.
*) Update: dalam Kaskus ada kaos sejenis, teksnya berbeda: “Dulu perawan sekarang janda. Dulu menawan sekarang menggoda.”
2 Comments
Kompleeet.
Terima kasih. Kalau komplet pakai telor biasanya 😁