↻ Lama baca 2 menit ↬

antyo-koran-tempo-2014Kesehatan telinga kaum muda Australia terancam karena clubbing, konser, dan… headphones! Itulah laporan Australian Hearing, sebuah lembaga kesehatan pendengaran, pada 2010. Dan, nun di Amerika, ada H.E.A.R. (Hearing Education and Awareness for Rockers, Hearnet.com), sebuah organisasi nirlaba yang didukung industri instrumen musik, pemusik, dan media musik.

Misi H.E.A.R. adalah mengajak khalayak menjaga kesehatan pendengarannya. Sejumlah pemusik menjadi duta, dari rocker Lars Urlich (Metallica) hingga jazzer Herbie Hancock. Di San Francisco, markasnya, mereka juga membuka kelas pelatihan dan klinik evaluatif.

Dengan latar tadi, laporan Koran Tempo (Sabtu, 4 Oktober 2014) tentang headphones sebagai gaya hidup menjadi menarik. Laporan itu seperti menghimpun pengalaman pembaca yang sejak tiga tahun lalu melihat makin banyak orang mengenakan headphones, bukan earphones, sambil berjalan. Rupanya kian banyak orang yang tak puas dengan earphones.

Meningkatnya penikmatan headphones makin terasa sejak 2010, ketika sejumlah padagang audio menawarkan amplifiers untuk headphones. Sasaran utama mereka awalnya para penikmat piringan hitam yang membutuhkan preamp. Sebelumnya, ramai pula penawaran DAC (digital-to-analog converter) agar musik digital menjadi lebih “tebal”, bukan sekadar “suara kaleng”.

Lalu, seberapa lama orang tahan memakai headphones nonstop? Beda kuping, beda jawaban. Sehatkah pendengaran mereka? Ahli THT yang dapat mengevaluasi –– di Indonesia pada 2013 ada 700 ahli THT (Telingakusehat.com). Tentu, sumber penurunan pendengaran bukan cuma headphones, ajeb-ajeb, dan konser, tetapi juga kebisingan kota dan lingkungan kerja.

Pada 2004 diwartakan bahwa sejumlah tamatan SMK tak lolos seleksi sebuah pabrik PMA Jepang di Tangerang karena pendengaran mereka buruk. Ternyata noise induced hearing loss (NIHL) terjadi di sekolah: tempat praktek tak menyediakan pelindung telinga.

Untuk konser, sejauh ini di Indonesia belum digencarkan pemakaian earplugs. Konsumen diharapkan tahu sendiri sebelum memasrahkan diri untuk dihajar tumpukan speakers. Cara murah ada: beli earplugs untuk industri di apotek, berupa sumbat karet untuk kuping. Mungkin akan mengurangi penikmatan musikal, tapi daripada jadi budek, kan?

Lalu, pasal di luar kesehatan? Headphones dan earphones menjadikan musik kian individual, tapi sisi penikmatan komunalnya tak lantas hilang. Dari ponsel dan iPod-nya, setiap orang mendengarkan musik masing-masing; tak ada lagi era dominasi lagu dalam keluarga, indekos, dan kantor seperti dulu: yang paling kencang dan kerap memutar lagu itulah yang berpeluang menularkan selera.

Di sisi lain, meski menikmati secara individual, media sosial membuat kaum muda selalu terbarui tentang informasi musikal. Padahal mereka tak perlu menonton MTV, cukup dari YouTube dan audio streaming saat naik sepur.

Itulah jasa headphones dan earphones: tak mengganggu telinga orang sebelah, tapi beroleh hiburan dan pengetahuan dari orang lain yang mengunggahkan musik ke awan.

~ Antyo Rentjoko – dalam Koran Tempo, Selasa 7 Oktober 2014, halaman 15

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *