↻ Lama baca 3 menit ↬

deretan rumah baru dengan balkon di jalan masuk chandra baru, pondokgede

PARA ARSITEK BISA MENJAWABNYA | Di tengah kemacetan, atau saat lalu lintas sedang merambat, kadang saya meluangkan waktu menengok rumah di kanan-kiri jalan. Di sejumlah tempat, katakanlah Pondok Indah, Jaksel, banyak rumah memiliki langkan. Tak pernah saya mendapati orang di langkan rumahnya, baik pagi, siang, sore, maupun malam. Mungkin saya tak beroleh kesempatan, melintas pada saat yang salah.

Di tempat lain hampir sama: jarang melihat orang di balkonnya. Begitu jarangnya melihat sehingga ketika melihat bisa teringat. Padahal peristiwanya sepuluh tahun silam bahkan lebih.

Suatu pagi, saat berangkat kerja melewati Jatibening, Bekasi, dari jauh saya melihat ada wanita ramping berambut selewat bahu berdiri di balkon, memunggungi jalan, dengan terusan putih berbahan semacam Lycra tanpa lengan yang berpunggung terbuka.

Saya tak tahu wajahnya. Namun apa yang saya perikan tadi juga masih diingat oleh istri saya secara visual.

Kami jarang lewat sana, tapi ketika lewat rumah di tikungan lunak itu istri saya selalu ingat wanita di balkon, dengan pertanyaan tetap, “Kok kamu waktu itu bisa lihat dia, padahal kan jauh?” Oh, jauh. Sepelemparan batu setelur puyuh kalau dilontarkan dari ketapel.

Jawaban karena jarang melihat orang di balkon memang seperti mengada-ada. Kalau mata saya adil, saat melihat pria gendut botak berewok berdiri di balkon mestinya juga saya perhatikan dan bahas.

Langkan yang menganggur

balkon di alfamart kodau bekasi

Sudah beberapa bulan ini saya sering berjalan-jalan. Rutenya bervariasi, waktunya bisa pagi maupun sore. Kadang hanya 1,5km tapi lain waktu bisa 4km. Saya melewati banyak sekali rumah berlangkan. Apanya yang menarik?

Baik pada rumah sederhana, biasa, maupun bagus, langkan di bagian atas rumah, biasanya pada lantai kedua, belum tentu menjadi anjung peranginan. Jarang terlihat orang sedang di sana. Tapi di bagian bawah rumah, penghuninya sering terlihat di teras bahkan di depan rumah – atau malah sampai bahu jalan.

Yang sering terlihat adalah balkon menjadi tempat menaruh barang, sejak kardus entah apa sampai kursi rusak. Malah ada yang tak menyisakan tempat untuk berdiri apalagi duduk.

Kalau balkon untuk jemuran? Itu jelas tak menganggur. Setiap hari ditapaki kaki untuk menjemur dan mengangkat jemuran.

Kalau sampai balkon menganggur, kesalahan ada para pemilik rumah atau arsitek? Oh ya, arsitek di sini bukan dalam arti wastuwidyawan berijazah tapi siapapun yang merancang rumah, termasuk rumah sendiri untuk didiami.

Tak ada salah dan benar. Ini soal bagaimana seorang arsitek, termasuk yang amatir tadi, memandang fungsi balkon dalam rancangannya. Siapa tahu balkon memang sekadar menjadi elemen façade eh fasade*.

Jangankan orang lain yang merancang sesuai kemauan pemilik rumah; ketika si pemilik rumahlah yang merancangnya pun belum tentu akhirnya balkon berfungsi. Pemanfaatan ruang dalam rumah bergantung kepada kebutuhan dan interaksi penghuninya berikut aktivitas masing-masing.

Tentang pemanfaatan ruang, hal itu pun dinamis. Kebutuhan anak kelas enam SD sudah bisa berubah enam tahun kemudian ketika dia menjadi mahasiswa. Sering tidaknya dia di rumah, dan apakah teman-temannya kerap bertandang, turut memengaruhi tata guna ruang. Kalau dia setelah dewasa merokok, mungkin langkan bisa menjadi pilihan sambil berponsel atau bertabletria.

Bisa juga balkon yang dulunya berfungsi untuk ngariung (setelah jemuran kering) menjadi sepi karena tak ada lagi yang mengisi. Misalnya karena anak-anak berkuliah di luar kota, atau meninggalkan rumah setelah menikah. Naluri umumnya penghuni rumah adalah memanfaatkan ruang kosong, dalam hal ini balkon menganggur, untuk menaruh barang – misalnya treadmill dan sepeda statis rusak. Pot tanaman rapi segar menghijau juga termasuk barang, kan?

Paling tak mengenakkan adalah orang tak butuh balkon tapi ketika beli rumah dapat balkon karena desainnya seragam. Sang arsitek kalau tahu mungkin juga kesal, karena balkon hanya berfungsi dalam rendering gambar imajinatif yang akhirnya menghiasi brosur penawaran rumah.

Alfresco dan aircon: keduanya kita perlukan (dengan catatan)

Ketika saya dibiayai, sehingga mendapatkan hotel tropis dengan teras kamar, dikelilingi pepohonan, rasanya senang. Bisa di pantai, bisa di gunung. Kalau masih merokok berarti tambah nyaman – hehehe, ada kabar bagus: sudah setengah tahun lebih saya ogah merokok dan belum ingin lagi.

Karena ada waktu luang banyak, akibat acara lebih dari sehari, kegiatan di teras itu bisa membuat lupa waktu. Ngopi, baca, tulis, dan lainnya, di teras yang teduh. Bukannya panas? Sepanjang tidak lembap sehingga membuat gerah, tak banyak debu, teras terbuka itu menyenangkan. Serasa menikmati alfresco pribadi.

Lembap lalu gerah? Debu masuk, apalagi ditambah debu karbon dari knalpot? Aha! Ini rupanya masalah para pemilik rumah berbalkon.

Balkon di tempat panas, yang gerah dan berdebu, misalnya Jakarta dan sekitarnya, akhirnya menjadi penghalau penghuni rumah untuk memasuki kamar-kamar ber-AC. Ironis juga: penghuni dihalau oleh ruang terbuka milik mereka sendiri untuk kembali terpenjara dalam bangunan. Terpenjara dalam kenyamanan, karena pilihan, tanpa tahu dunia luar.

Ah, sebenarnya tak aneh juga. Arsitektur merupakan bagian dari ikhtiar manusia dalam merespons alam. Menghindari panas, debu, dan polusi dari balkon di rumah sendiri adalah bagian dari cara menanggapi kehendak alam.

Bagaimana kalau panasnya seperti September ini, kering bikin kulit berbusik? Sama saja, semakin lengkap alasan untuk mendekam dalam ruang rumah. Balkon-balkon di Pondok Indah – apalagi di pinggir jalan yang bising dan polutif, mana dilihati pelintas pula – adalah contoh anjung peranginan yang dibiarkan menganggur.

Eh tapi… orang bule kayaknya suka teras meskipun panas, kering maupun lembap, bahkan ketika banyak debu? Misalkan jawabannya “ya”, itu selera mereka. Bukan kita.

Teras, di bagiah bawah rumah maupun sebagai balkon, hanya menyenangkan jika itu di tempat lain, terutama di tempat tetirah maupun pengudapan – ada kopi, ada bir, dan mungkin teman. Di rumah sendiri tak perlu ada. Kalau pun ada meja berpayung belum tentu sebulan sekali dipakai.

Lalu? PR bagi arsitek lebih sederhana: merancang tempat menjemur yang takkan mempermalukan penghuni rumah – rumah bagus kok jemuran jeroan di pagar depan, atau di pagar balkon.

*) Kalau saya tulis “fasad” seperti umumnya dilakukan oleh majalah tata rumah dan ruang, kok bisa terancukan dengan “fasad” yang diserap dari bahasa Arab, artinya “kerusakan (moral dsb); kebinasaan” (lihat KBBI, status lema sesuai kondisi saat artikel saya tulis).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *