Kendi Merah di Depan Rumah

▒ Lama baca 3 menit

Kendi merah di depan rumah untuk bernostalgia

MAKA SAYA TERINGAT AIR MINUM | Jejeran kendi merah di atas pagar sebuah rumah itu menghidupkan ingatan saya tentang masa kecil. Soal apa? Kendi. Ya, kendi. Untuk wadah air minum. Ditaruh di halaman rumah supaya pelintas jalan bisa meminumnya, langsung menenggak tanpa cangkir, tanpa mulut mengenai cucuk kendi. Tentu yang saya foto itu hanyalah hiasan.

Dulu, akhir 60-an (betul, abad lalu; saya memang sudah tua), angkutan umum belum banyak. Orang bepergian dengan berjalan kaki. Di Salatiga, Jateng, saya tinggal di Jl. Banyubiru (Jl. Imam Bonjol) 57. Orang dari Kayuwangi, Bandungan, Jombor, dan Sraten, kalau mau ke kota (pasar) lewat depan rumah saya.

Nah, di sebelah rumah ada warung kelontong, milik Mbah Parto. Beliau memasang rak papan di halaman depan, ditumpangi dua-tiga kendi berisi air (tampaknya mentah, dari sumur). Pelintas yang kehausan tinggal mampir untuk minum. Gratis. Biasanya sore hari Kang Jarwo, keponakan Mbah Parto, bertugas mengisi kendi.

Tahun terus berjalan, mulai 1970 saya tinggal di Jl. Andong (Osa Maliki) 50. Saya tak melihat kendi lagi di jalan itu. Akan tetapi antara lupa dan ingat, saya pernah melihat kendi untuk umum di Klaseman dan Grogol – dulu keduanya adalah wilayah pedesaan dengan jalan tanah.

Pada pertengahan 80-an, saya sudah dewasa, saya melihat lagi kendi di atas rak, di bawah pohon waru, di pelataran sebuah rumah yang memepet jalan. Bukan di Salatiga tapi di Semarang, sekitar Jl. Petek, daerah yang mengarah pantai. Fungsi kendi itu sama dengan kendi Mbah Parto.

Bagaimana ginjal mereka?

Ya, mereka. Orang-orang yang berjalan jauh itu. Mereka hanya sedikit minum. Tak membawa bekal, mungkin karena botol beling kapasitas seliter bila terisi akan membebani.

Apakah darah mereka asam karena kurang minum? Mungkin saja. Eh, bisa juga tidak. Di pelataran samping rumah saya yang Sinoman (Jl. Imam Bonjol) itu ada sumur. Para simbok bakul bisa berinisiatif cuci muka (dan pipis) dengan menimba air. Beberapa kali saya melihat mereka juga minum air dari ember timba.

Yang saya ingat saat itu, dulu begitu, kalau bepergian jauh naik kendaraan banyak orang berbekal teh manis, bukan air putih. (Ketika saya masih di TK, wadah minum saya juga berisi teh manis dan kadang setrup). Kebiasaan berbekal teh itu yang mengilhami Sosrodjojo membuat Teh Sosro dalam botol.

Air putih kok dijual

Meskipun begitu ada orang hebat dan kreatif selain Sosrodjojo. Dialah Tirto Utomo, pendiri Aqua. Air putih kok dijual, dan laku, lantas sekarang jadi keharusan karena banyak orang selalu kehausan, baik di rumah maupun kantor.

Tirto memang visioner. Dia tahu bahwa drinking water di Indonesia itu hanya diterjemahkan sebagai air minum, tapi dalam keadaan mentah tak layak minum.

Maka mulailah Indonesia mengenal pasar air tanpa distribusi melalui pipa. Ya, air botolan yang entah kenapa disebut air mineral itu. Di jalan, pengasong menawarkannya. Di warung rokok apalagi.

Dalam pasar air itu ada masa, tahun 80-an-90-an, entah benar entah rumor bahwa dalam seliter Aqua itu komponen harga botol plastiknya mencapai 60%. Lebih mahal wadah ketimbang isi. Juga ada masa ketika air botolan lebih mahal dari bensin – karena bensin disubsidi besar sekali.

Menyesap air putih

Cara mendapatkan air minum akhirnya mengubah sebagian hidup kita. Setiap ada acara, atau ada tetamu, banyak rumah tangga yang tinggal mengeluarkan air kemasan dalam gelas plastik.

Gelas saja tidak cukup. Harus ada buluh plastik untuk menyesap air dari gelas. Dulu ketika orang hanya mengenal suguhan teh manis, dan kopi, minum dengan penyedot hanya layak dilakukan oleh anak kecil saat menikmati limun (istilah ini arkais).

Mungkin juga lantaran isu kesehatan, kini hampir tak ada kantor yang menyediakan teh manis. Sekarang zamanya air putih. Kalau bukan dari dispenser ya dari botol atau gelas plastik.

Generasi saya mungkin ingat, dulu di ruang guru selalu ada segelas teh untuk setiap orang. Di kantor lain juga begitu, misalnya kantor ayah saya.

Saya luput memperhatikan apakah dalam film-film Indonesia lama itu gelas berisi teh termasuk properti meja kantor. Jika ya, meski hanya satu film, itu bagus sekali karena ada jejak pencatatan satu sisi kehidupan: soal minum harian.

Kisah air jerangan dari dapur umum

Ini kisah pada 1990. Saat itu saya mulai bekerja di Jakarta, di kantor majalah. Setiap pagi office boy menenteng dua ceret besar dari dapur umum korporat.

Ceret aluminium itu masing-masing bertuliskan “teh” dan “AP”. Yang “AP” itu air putih, bukan Associated Press yang teleksnya kami langgani. AP itu hasil penjerangan, jadi kalau pagi masih hangat – entah pukul berapa menyiapkannya.

Kalau teh dalam ceret sih selalu manis, malah teramat manis, karena konon barisan patehan (pembuat teh) di dapur umum itu diisi orang-orang Yogyakarta (Wonosari).

Pada 1991 kantor saya memakai dispenser, dengan galon dari Sosro, selama bertahun-tahun, tapi teh manis dalam ceret masih tersedia, sampai saya di sana hingga akhir 1998.

Sebelumnya, 1994, saya pernah sakit, dirawat di rumah sakit, di Salemba, Jakarta Pusat. Aqua sudah menjadi barang lumrah tentunya. Mungkin karena saya bukan di VIP, melainkan kelas dua, air minumnya adalah rebusan.

Setiap pasien ditemani satu botol yang tampaknya bekas wadah sirup ABC (orang bilang “botol Orson”). Saban pagi dan sore (oh, siang juga), petugas dari dapur mendorong troli berisi ceret besar. Mereka bisa menuang air dari ceret ke botol tanpa bantuan torong/corong, tanpa tercecer, tanpa tumpah. Hebat!

Proses pengisian itu menjadi hiburan bagi saya, lengkap dengan efek auditif cuuurrrr air putih dalam botol yang kian naik menuju penuh.

Tinggalkan Balasan