↻ Lama baca 3 menit ↬

tampak belakang kotak surat yang menyatu dengan tembok pagar, ada pintu kacanya

BUKAN SEKADAR KARENA INTERNET | Kotak surat itu akhirnya terisi. Putri si pemilik kotak pun takjub: ada kartu pos dalam kotak yang kacanya kian buram tapi lebih penting lagi jarang dibuka.

Kotak surat di rumah itu jarang terisi. Koran cukup dilemparkan ke carport oleh loper. Kiriman dokumen lain biasanya melalui kurir non-pos, membutuhkan tanda terima, sehingga tak perlu pencemplungan ke dalam kotak. Langsung, dari tangan pengantar ke tangan penerima.

Bagaimana dengan kiriman via PT Pos? Jumlahnya kian sedikit, itupun lebih sering dilemparkan. Sekarang bukan zamannya Pos Kilat Khusus yang membutuhkan tanda terima (oh ya, tiba-tiba saya teringat kata “resi”) seperti dulu, yang kadang memaksa Pak Pos mematikan mesin Suzuki 100 A7 dua tak agar tidak bising.

Sekarang surat pos biasa, bukan Kilat Khusus, umumnya juga dilemparkan. Pak Pos tak perlu turun dari motornya. Tak perlu berseru permisi maupun memencet bel – atau cukup membiarkan salakan anjing rumah menjadi bel.

Kehadiran pesan elektronis – sejak SMS sampai aplikasi percakapan via ponsel – akhirnya mengubah bahkan menghapus sejumlah kebiasaan lama.  Istilah di depan, “pesan elektronis”, pun terasa arkais.  Lebih lumrah pesan digital. Tak perlu disesali. Karena apa yang kita yakini sebagai kebiasaan lama juga mulanya menjadi hal baru.

Apa saja yang berubah? Baiklah yang saya jadikan rujukan adalah masa kecil saya.

tampak depan kotak surat yang menyatu dengan tembok pagar rumah

Menjadi pengantar surat

Dulu ketika telepon belum terjangkau semua orang, generasi saya mengalami disuruh oleh orangtua untuk mengantar surat ke Pak/Bu Siapagitu. Maklum urusan sosial ayah dan ibu saya banyak, antara lain urusan kegerejaan.

Seringkali setelah surat saya serahkan, saya pun harus menantikan respons. Paling enak yang lisan karena pendek, “Bilang ke Ibu(mu), Bu Hardjo besok bisa datang.”

Yang merepotkan kalau ada korespondensi. Si penerima juga membuat surat balasan, dengan tulisan tangan. Artinya saya harus menunggu – menyenangkan kalau ada anjing bisa diajak bercanda atau anak tuan rumah adalah teman saya.

Maka kemajuan teknologi komunikasi itu bagus karena menghentikan deraan terhadap anak-anak yang menjadi kurir.

Kesempatan menikmati prangko

Tadi sudah saya sebutkan kotak surat. Dulu bagi saya nikmat, setiap hari memeriksa kotak surat ayah saya. Kalau tidak ditengok bisa membeludak karena majalah juga dicemplungkan ke kotak oleh Pak Pos.

Yang saya benci adalah kiriman dengan prangko berlangganan. Tak ada yang bisa saya nikmati dan saya koleksi – terutama prangko luar negeri. Tetapi yang luar negeri pun bisa membosankan karena prangkonya bisa sama terus.

Depot benda pos

Saya lupa kapan terakhir kali melihat lembaran seng bertuliskan “depot benda pos”. Biasanya seng itu ditempel pada warung kelontong dan toko buku. Konsumen bisa membeli prangko, meterai, amplop, kertas segel, blanko wesel pos, kartu pos, dan semoga warkatpos (Anda tahu itu apa?). Kalau kartu pindah (apa pula ini?) setahu saya hanya dijual di loket kantor pos.

Depot benda pos yang bagus biasanya sekalian menyediakan bus surat tempat mencemplungkan surat yang akan diambil oleh petugas kantor pos.

Telegram akhirnya enyah

Bukan layanan kantor pos tapi berupa kertas berisi teks, diantarkan oleh kurir. Telegram keok oleh SMS lintas operator, layanannya resmi dihentikan sejak 1 November 2002.

Saya terbiasa mengirim maupun menerima telegram antara lain karena kebiasaan keluarga. Yang namanya telegram itu netral. Tak harus berisi kabar buruk.

Saya terakhir kali mengirim telegran 2001, untuk mendapatkan artefak yang laik foto, sebagai ilustrasi untuk laporan SMS lintas operator dalam majalah. Teman saya, fotografer, yang mengirimkannya. Meskipun punya kenangan akan telegram, hingga kini saya belum memakai aplikasi Telegram.

Wesel pos masih ada sih

Mengirim uang via kantor pos itu dulu lumrah. Begitu juga menerimanya. Saat masih bocah saya kerap disuruh ayah mengirim wesel (tepatnya: mengirim uang) ke beberapa toko dan importir buku. Satu hal yang saya ingat: isian “sen” setelah “rupiah” tak perlu diisi karena satu rupiah senilai seratus sen itu hanya teori.

Saya juga sering melihat wesel yang datang ke rumah saya, untuk ayah saya. Itu honorarium dari penerbit koran, salah satunya di Palmerah (Jakpus), yang lainnya di Cawang (Jaktim), karena ayah saya menulis artikel.

Ketika saya kuliah, wesel sempat saya akrabi. Lebih sebagai penerima untuk honor seperti ayah saya. Untuk kirim cuma beberapa kali, memesan barang dari katalog. Pada 1980 saya memesan sepatu kasual Wimo setelah melihat iklannya di Hai.

Kotak pos: belum kesampaian tapi cukup

Ya, pernah saya ceritakan bahwa saat bocah saya membayangkan punya kotak pos. Lalu setelah saya mahasiswa juga menginginkannya. Setelah menjadi ayah, di Pondokgede, Jabar, saya juga sempat menginginkan kotak pos.

Sekarang? Tidak. Misalkan masih ada kotak pos yang sela, mungkin juga tak akan saya sewa. Lha buat apa? Saya bisa memilih alamat antaran apapun untuk saya, ke rumah atau ke kantor, tak perlu mendatangi kantor pos.

Kalau buat klangenan? Menarik juga tampaknya. Dan ketika alamat saya umumkan, mungkin bakal ada kiriman yang tersimpan hingga masa sewa habis karena kotaknya tak pernah saya jenguk.

*****

Panjang dan melelahkan cerita saya, ya? Cerita ini tersusun gara-gara ide yang muncul saat memuat gambar dan cerita tentang kotak surat yang terisi.

Ada cerita lagi? Ada. Kotak surat masih dijual. Yang bergaya Amerika juga ada – lengkap dengan benderanya padahal di Indonesia tak berfungsi, tapi ada yang beli.

Ada lagi. Kalau nomor rumah Anda pada kotak surat menjadi captcha apakah Anda berkeberatan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *