MASIH ADA YANG BACA KORAN CETAK | Saya beli koran itu dari sebuah lapak sejauh satu kilometer lebih dari rumah ketika saya berjalan-jalan pagi. Selain saya ada pula pembeli lain: bersepeda motor hendak ke kantor, membeli koran entah apa saya lupa tapi gambar foto sepakbolanya besar sekali di halaman belakang.
Masih ada orang yang butuh koran cetak. Misalkan perjalanan pria itu ke tempat kerja butuh sejam, berarti baru sejam lagi berita yang dia inginkan itu terbaca. Sejam lagi, artinya pukul 8.22.
Berapa lama jarak pembacaan itu dengan jam penulisan berita (sehari sebelumnya)? Ketika media daring belum tumbuh, selisih waktu sehari untuk “berita keras” dan peristiwanya dianggap wajar dalam koran cetak.
Ingatan saya hinggap ke lampu merah perempatan Pondok Indah, Jaksel. Sampai Februari lalu, setiap malam masih ada penjaja koran. Siapa yang masih beli koran malam hari, baik koran sore maupun koran pagi?
Oh koran sore! Sampai kapan mereka bertahan? Penumpang mobil yang bersopir lebih memilih membaca dari tablet atau ponselnya. Mereka yang menyetir sendiri tak dapat membaca koran selagi di jalan apalagi malam hari. Saya baru sadar satu hal: makin jarang penjual koran pada sore dan malam hari selepas jalan tol.
Fungsi koran sebagai non-bacaan, koran asing untuk payungan
Kembali ke koran pagi. Lalu apa yang saya beli? Kompas, karena saya tak berlangganan lagi. Dulu ada masa ketika saya melanggani lebih dari satu koran di rumah sehingga tak perlu waktu lama untuk mengilokannya. Empat koran. Buang waktu. Buang uang. Padahal saya juga pakai internet. Saat itu saya menghibur diri, “Aku orang beruntung yang dapat menikmati transisi dalam pergantian zaman.”
Sungguh tak bermutu — bukan korannya tapi saya. Prioritas utama saya membeli ecer koran eceran pagi itu adalah supaya punya alat peneduh. Pagi itu panas sekali padahal belum beranjak siang. Padahal lagi sisa perjalanan saya masih jauh, melebihi jarak rumah ke lapak.
Dagelan garing bahwa koran juga berfungsi sebagai kipas berteman dengan ide koran sebagai tabir surya. Aneh tapi fungsional. Serupa saya (tentu kesal) yang ketika masih kuliah ikut sebuah Toyota Hi-Ace tanpa AC dari Salatiga ke Yogya, dan di tengah perjalanan seorang pria tua meminjam Tempo baru yang belum selesai saya baca, kemudian dia baca sebentar lalu dia tidur menempelkan kepalanya yang berkeringat ke majalah saya.
Koran dengan fungsi lain (bukan hanya untuk membersihkan kaca) oleh teman saya 20 tahun silam berarti untuk mantel hujan jarak dekat, menyeberangi jalan setapak dan jalan selebar empat meter, dari pintu kantor ke warung depan kantor. Dia selalu memilih koran The Straits Times, South China Morning Post, USA Today, The International Herald Tribune, The Guardian, tapi yang paling dia incar adalah Le Monde.
Kenapa Le Monde? “Ha mergané aku ora bisa basa Prancis, hé,” katanya. Padahal Le Monde dan The Guardian itu sama: ukurannya kecil, broadsheet seperi Koran Tempo sekarang, sehingga tidak nyaman untuk berpayung.
Nasib koran-koran asing setelah menjadi payung itu sama: basah kemudian dicampakkan ke kotak sampah. Mengapa dia memilih koran asing sebagai payung hujan? Nanti saya saya jelaskan di akhir tulisan.
Betul, memang masih ada yang baca koran
Selama jalan-jalan itu saya meliht masih ada orang membaca koran. Umumnya orang tua. Di jalanan kompleks tetangga, lebih dari sekali saya melihat pria pensiunan membaca koran pagi. Ke mana para pria (dan perempuan) muda? Jam segitu sudah pada berangkat kerja.
Pada beberapa gang yang saya lewati, pagi itu ada juga orang membaca koran. Misalnya di pelataran warung tempat kongko dan adu catur. Sayang semuanya tak mungkin saya foto karena saya tak mau merepotkan diri sendiri. Tujuan saya adalah jalan-jalan, dan supaya tak kepanasan saya berpayung koran, jadi bukan memotreti orang membaca koran.
Meskipun begitu ada juga yang menggoda untuk saya jepret. Sorang tukang cukur yang belum memulai jam kerjanya bisa menikmati pagi dengan membaca koran. Saya tak tahu topik apa yang menarik untuk siang nanti di ruang pencukuran.
Waktu saya kecil, obrolan orang-orang dewasa di tukang cukur adalah berita koran. Jarang yang membahas berita TV karena tak semua orang punya TV lagi pula yang ada hanya TVRI dengan berita yang disetir oleh pemerintah. Mengherankan juga ada yang menganggap Orde Harto lebih enak.
Demikianlah catatan saya dari pengalaman pada Sabtu pagi 26 April bulan lalu. Sudah lama fotonya saya simpan namun ceritanya masih draf.
Tentang teman saya kenapa menggunakan koran asing untuk payung, inilah alasannya. Pertama: itu bukan koran baru edisi hari itu, sebagai koran bekas dia boleh dipakai untuk apa saja. Kedua: dia heran melihat orang yang menurutnya snobbish, malu menenteng Pos Kota. Supaya tak kalah snobbish (padahal tak ada yang melihat) dia memilih koran asing dengan prioritas Le Monde.