MUNGKIN ANDA TAHU SEBERAPA BANYAK ROKOK ECERAN DISEBUT DALAM TEKS INDONESIA | Rokok eceran. Sejak kapan muncul? Mestinya sejak rokok dikemas dalam paket berisi lebih dari sebatang. Konsumen tak perlu membeli sebungkus, cuma sebatang cukup.
Masalahnya saya tak tahu sejak kapan persisnya rokok dijual per ikat atau per bungkus. Jadi untuk mudahnya kita anggap saja membeli rokok ketengan itu sudah berlangsung seabad dan saya mengharapkan sanggahan.
Pada akhir 80-an teman saya pulang dari Filipina. Salah satu ceritanya, “Di sana adanya cuma rokok putih, tapi bisa beli eceran per batang.”
Bagi saya cerita itu menarik. Pengetengan bukan cuma di Indonesia, dan anehnya rokok putih pun diecerkan — suatu hal yang tak lazim di Indonesia.
Tentang rokok ketengan, industri rokok pun sudah lama tahu sehingga mereka memasang poster harga eceran tertinggi per batang di warung-warung. Saya menduga di negeri lain, apalagi yang regulasi pertembakauannya ketat, tak ada poster semacam itu.
Dalam kasus poster itu, jika daya beli melemah menjadi kendala di pasar, sebelum membuat jenama pengganti lakukanlah perawatan penetratif dengan mengingatkan ketersediaan eceran. Dan secara sepihak saya mendakwa produsen akan berkilah,
“Halah tanpa poster dan stiker tetep aja warung jual eceran, atau malah bikin pengumuman sendiri.” Oh, baiklah.
Dulu, pertengahan sampai akhir 70-an, sejumlah pabrik rokok kretek malah membuat kemasan berisi tiga dan lima batang. Salah satunya adalah Djarum, sehingga ada sebutan Djarum 3 dan Djarum 5.
OOT: Kemasan bersedikit isi itu bukan meniru maskapai penerbangan yang saat itu masih menyediakan rokok gratis dalam bungkus berhemat isi untuk penumpang. Anehnya, sejauh saya tahu, Istana Kepresidenan tak pernah menyediakan sebungkus sigaret bersedikit isi — oh ya, saya tak tahu kapan terakhir kalinya Istana menyediakan rokok.
Dengan Djarum 3 atau Djarum 5, perokok yang terbiasa membeli eceran akan merasa nyaman karena merasa membeli sebungkus; takkan bikin malu. Begitu kata seorang pemilik warung dekat rumah saya.
Seberapa berjejak rokok ketengan dalam benak orang Indonesia, termasuk di kalangan non-perokok? Saya tak tahu pasti, karena lingkungan sosial berpengaruh.
Orang yang kerap naik angkot mungkin pernah melihat sopirnya membeli rokok eceran dari pengasong. Kalau Anda pemilik warung pasti tahu soal ketengan. Bahkan bukan tak mungkin sedikit dari Anda pernah melihat hal mengerikan: seorang anak kecil disuruh membeli rokok eceran sekalian menyalakannya sehingga harus mengisapnya.
Jejak rokok (yang didapat secara eceran) dalam teks yang tentulah tak sedikit. Sejumlah cerpen pernah menyebutnya. Misalnya ini: “Ada juga rokok di sana. Tapi mereka hanya mau menjualnya eceran, batang per batang. Tentu saja jatuhnya lebih mahal jika aku membeli satu bungkus sekaligus” (Gunawan Maryanto, Mbak Mendut, 2011).
Dan saya tak tahu apakah “dengan tiga batang Djie Sam Soe / kusimpan di saku blue jeans-ku” yang disebut Gombloh dalam lagu Lepen (album Nadia & Atmospheer, 1978) itu dibeli secara eceran ataukah sisa tiga dari sepuluh batang dalam sebungkus rokok?
Jika menilik kebokekan dalam lagu itu, yang terasa hanya tiga batang Djie Sam Soe (rokok kretek termahal) dalam saku itu sudah cukup membuat si aku tampak gagah dan percaya diri.
OOT: Oh ya, saya tak tahu apakah rokok Chairil Anwar itu lebih sering diperoleh secara ngeteng atau membeli per bungkus. Mungkin Anda tahu?
Jejak rokok eceran di media sosial tentu ada. Lihatlah dua contoh berikut ini:
Kalo mau beli rokok, ngeteng, sebelum dicomot dan dibakar, cek dulu bawa duit apa nggak.
— yudh(i)st (@yudhst) July 20, 2012
Biasanya 6 rb bisa buat ngecer bensin seliter sama beli rokok sebatang, sekarang 6 rb cuma bisa buat beli bensin aja.. :(
— danang baskoro (@lawaran) April 30, 2013
*) Tulisan ini tak disponsori kubu pro-tembakau maupun seterunya yang anti-tembakau — bahkan tak ditaja oleh siapapun