Tar! Tar! Tar! Tari? Tarno? Tarman? Tarida? Tariq? Cetar! Getar! Pe-ta-tar! Julukan “petatar” itu! Alangkah ganjilnya. Apa yang benar menurut kamus belum tentu akrab di telinga. Karena kehidupan nyata dalam keseharian bukan dalam cengkereman ahli bahasa, orang-orang pun lebih akrab dengan “trainee” — bukan “petatar”.
Kalaupun “trainee” masih membingungkan, boleh ada koreksi maupun penegasan dari lawan bicara, “Oh maksudnya masih training, gitu ya?” Orang santun lagi bijak selalu mengiyakan. Jangan memperdebatkan bahasa dengan orang yang tak mau ambil pusing ihwal kerepotan para editor.
Lebih menarik mengamati anak muda yang berstatus trainee, dan tulisan itu tertulis di punggungnya, tersilangi oleh tali apron — dan hanya dia yang mengenakan kaos polo bertuliskan “I’m a trainee :)“. Dia sedang dilatih untuk menjadi pramusaji kedai kopi. Bisa juga calon barista. Atau calon bartender seperti seniornya yang bekerja selayaknya seniman: cekatan namun tak sepenuhnya masinal, ada saatnya dia membuangi lemon dan buah lain yang menurutnya tak layak setelah dia belah, potong, atau kupas. Demi sebuah minuman entah apa namanya.
Si petatar, ah kembali saya pakai istilah ganjil tapi lucu ini, tak pernah diam. Dia selalu bergerak. Bekerja. Tak ada waktu untuk sekadar ngobrol lebih dari setengah menit dengan sejawat dalam dapur yang diisi empat orang itu; seolah tak ada kesempatan untuk mempergunjingkan tetamu. Dia bergerak, bergerak, dan terus bergerak. Membungkuk mengambil karton pengemas kue. Membantu siapkan minuman pesanan — sejauh saya lihat tak ada pesanan kopi biasa dituangi air panas.
Kadang si petatar mendekati sejawat, melihat bagaimana minuman diramu dan disajikan. Kadang dia membuka tempat penyimpanan bahan minuman lalu bertanya yang mana barang yang dibutuhkan oleh temannya. Inilah pekerjaan. Menyibukkan. Tak ada waktu selesa di luar jadwal — kecuali mendadak kedai senyap tanpa tetamu.
Dapur yang itu juga sibuk. Begitu juga dapur satunya khusus makanan. Saya tak tahu pasti sekali shift ada berapa orang bekerja. Mungkin 15-an. Kalau ada dua kali gilir kerja berarti ada 30-an orang. Kedai memang penyerap tenaga kerja. Dan tamatan sekolah kejuruan pariwisata, sejauh saya tahu, tak menjadi penganggur yang kongko di pengkolan — selama sekolah pun tampaknya mereka tak pernah ikut tawuran seperti sejumlah SMK lain nan legendaris. Dalam ekonimi kreatif, sektor kuliner (perdapuran) adalah salah satu penyerap tenaga kerja terbanyak (lihat Beritagar).
Pramusaji. Juru masak. Juru minuman. Juru racik. Seniman hidangan. Seniman minuman. Bukan pekerjaan priayi? Mungkin, jika rujukannya adalah dunia ambtenaar. Dianggap setara priayi setelah rezeki si seniman citarasa lidah menanjak, begitu pun namanya dan jelajah unjuk kerjanya.
Apapun pekerjaan itu, dengan maupun tanpa tulisan “trainee” pada punggung, tetaplah menuntut etos. Tak beda dengan pegawai arena permainan yang tak dapat bermain-main selayaknya tetamu apalagi tamu anak-anak. Lalu siapa saya? Setengah malu saya mencoba be[r]cermin: saya bukan pegawai yang jelas, sebagian orang mengira saya menganggur, dan nyatanya saya bokek, bahkan bisa duduk di bar sambil mengamati orang bekerja karena ditraktir. Tapi saya menghibur diri: setidaknya saya melakukan sesuatu meskipun sekadar melihat, melayangkan pikiran ke mana-mana, memotreti, lalu menulis. Tampak priayi, bukan? Bukan.