ALKISAH, TAK JAUH DARI JAKARTA | Tidak jadul amat. Tapi melihat suasana latar serasa di kawasan yang jauh dari pusat bisnis nasional. Kalau saya tak salah ingat toko ini sudah lama ada, berlokasi di tenggaranya Jakarta.
Usuk dan reng bangunan toko ini dari bambu. Usuk itu tulang rusuk atap rumah, dipasang vertikal — biasa disebut kasau atau kaso. Adapun reng itu bilah horizontal untuk mencantelkan genting.
Ketika saya mengenal kawasan ini 21 tahun silam, toko ini tampaknya sudah ada namun saya belum pernah berbelanja. Baru April 2014 saya memperhatikannya. Ternyata bernama Ratna Wijaya. Nama yang mengarahkan tebakan identitas kultural tanpa niat melecehkan etnisitas.
Dulu ketika belum banyak pesaing warung kelontong, belum ada minimarket penyedia peralatan plastik, toko ini sudah ada dan nyatanya bertahan. Dia tak hanya menjual perabotan plastik untuk rumah tangga, pun tangga lipat dan tiang jemuran aluminium, melainkan juga sapu lidi dan gagang pacul yang memberi kesan alam rural.
Lalu apa yang saya maksudkan dengan perbatasan? Tak ada rumusannya.
Kalau batas administratif bin geografis sih mudah saja. Hanya 2,8km jarak toko ini dari Kali Sunter, sungai yang sekali kita lompati dengan galah sudah mendaratkan kita di tanah DKI (kalau galahnya panjang sekali).
Bagi kota (dulu kabupaten) yang menaunginya, wilayah toko berada ini hanyalah kawasan periferal. Wilayah sekitar toko lebih dekat ke DKI, tepatnya Jakarta Timur, ketimbang ke Bandung, ibu kota provinsi yang menaunginya. Sebagian besar warganya yang bekerja di sektor non-agraris (tampaknya) mencari nafkah di DKI.
Ah, itu bukan rumusan perbatasan. Baiklah. Saya menyerah. Saya hanya mau katakan hal lain sejak tadi. Pasar — dan juga kuburan — adalah saksi perubahan wilayah.
Toko Ratna Wijaya dalam imajinasi saya menyaksikan tak hanya pertambahan pedagang dan kios namun juga perubahan gaya bangunan di sekitar. Bangunan bersemen, minimal dengan batako, menjadi kebutuhan sejak awal 1980-an. Pintu gulung logam menjadi syarat. Atap asbes menjadi kelaziman sejak 1970-an, namun toko yang jadi lakon ini masih setia dengan genting tanah liat bakar. Toko ini dan yang seangkatan dulu lebih akrab dengan lantai plesteran semen, bukan ubin keramik.
Apalagi yang disaksikan oleh toko ini dan yang sezaman? Dua puluh satu tahun lalu, ketika saya mulai bermukim sejauh 1,6km dari pasar itu, urusan parkir motor masih mudah. Mobil yang melintasi pasar masih baru sepersepuluhnya sekarang. Pertambahan motor dan mobil adalah bagian dari pertumbuhan rumah dan permukiman — dan sekaligus berkurangnya pepohonan dan lahan penyerap air hujan.
Toko lakon kita ini bukan saksi zaman namun juga pelaku zaman. Yang dia jual juga berubah dari lustrum ke lustrum atau (pasti) dekade ke dekade. Tiang aluminium untuk menjemur pakaian tercuci, dua puluh satu tahun tak mudah ditemukan di pasar — apalagi dengan warna ngejreng. Tapi kompor berbahan bekas kaleng susu juga dijual di sana. Dan lihatlah: ada papan bergelombang untuk menggilas cucian — benda lama yang tetap bertahan, tak digilas oleh mesin cuci kreditan dan laundry kiloan di kawasan tak jauh dari pasar.
Lalu pengalaman apa yang hendak saya bagikan? Terlalu personal dan sentimental sebenarnya: saya merasa beruntung sebagai manusia urban tanggung masih dapat mencicipi suasana jadul jujur (bukan artifisial) di kawasan yang berbatasan dengan Ibu Kota ini.
Jika saya merasa tertinggalkan oleh pelbagai pacu tumbuh sekitar saya masih punya pelipur lara: “Terima saja, ini nasibnya orang rural di kantong periferal.”
Lho, siapa urban siapa rural? Tak penting.