Sampai Jumpa di Pemilu 2019: Saya Mau Nyalon

▒ Lama baca < 1 menit

sapu di rumah. sapu apakah namanya? bukan sapu jagat tentunya

MOHON RESTU, TAK USAH PAKAI DOA | Akhirnya saya nyoblos. Apalagi TPS itu di depan rumah – RT saya memiliki TPS sendiri, pemilihnya ya dari RT sendiri. Begitu dekatnya jarak sehingga sumpah angggota KPPS pagi hari pun bisa saya dengar dari kamar mandi selagi saya duduk di atas kloset.

Nyatanya saat akan mencoblos saya bingung akan mencoblos siapa, apalagi untuk DPD. Ah pokoknya akhirnya sayanya memasukkan keempat kertas suara ke kotak masing-masing. Perihal kebingungan itu saya tak sendirian. Di bilik bersekat kardus saya ditanya kanan-kiri, pilih yang mana enaknya. Petugas mendengar dan tak melarang.

Lebih penting bagi saya bahwa ketika saya masuk ke dalam tenda TPS saya menyatakan diri bersih (sambil angkat tangan padahal tak ditanya apalagi digeledah) kepada ketua KPPS: tak mengantongi ponsel maupun kamera untuk memfoto dalam bilik. Malam ketika penuntasan administratif di TPS saya juga tak memotret apapun. Pada pemilu 2009, saya tak mencoblos tapi memotret kotak tinta pemilu yang berlabel halal dari MUI.

Di mana masalahnya? Tak ada. Hanya ada keanehan. Saya diindetifikasi entah oleh siapa, dan memang mengidentifikasi diri, sebagai “kelas menengah urban”. Nyatanya saya tak tahu akan mencoblos apa dan siapa. Lebih mengharukan lagi, saya pernah membuat panduan cara mengenal caleg, tapi nyatanya setelah saya lakukan berulang kali saya tetap tak paham siapa mereka. Semprul betul saya sebagai kelas menengah yang tidak ngehek ini.

Mereka, para caleg itu, sebagai aliens, pasti juga tak kenal saya dan sebaiknya tidak usah. Sama-sama tak memberikan manfaat namun lebih banyak mudharat bagi saya jika berkenalan. Maaf, lebay. Abaikan saja.

Lalu bagaimana lima tahun mendatang? Saya akan memilih siapa kalau kandidatnya — balon, alias bakal calon — tak memperkenalkan diri kepada khalayak sejak sekarang? Lima tahun mendatang daya ingat saya makin lemah, tak mungkin mengingat “kenalan baru” yang saya jumpai di tiang listrik dan tiang telepon (bersanding dengan jasa sedot WC) maupun batang pohon.

Saya juga tak tahu bagaimana harus memperkenalkan diri kepada khalayak supaya akhirnya mereka memilih saya. Ya, saya mau nyalon lima tahun lagi — kalau saya masih hidup. Suka-suka saya, toh yang namanya salon tak hanya mengurusi rambut.

Eh, nyalon atau nyablon? Kalau nyablon lebih berguna asalkan partai dan caleg pemesan melunasi di muka. Tanpa itu maaf saja, silakan memesan di toko sebelah. Pemilu 2009 dan sebelumnya menjadi pengalaman berharga bagi penyablon: hati-hati sama partai. Pemilu usai pembayaran belum selesai.

Tinggalkan Balasan