↻ Lama baca 2 menit ↬

Entah tanaman apa, si merah dan si kuning dalam pohon yang sama

TAK JALAN MAKA TAK KENAL LINGKUNGAN | Rumah saya, lalu rumah lain sejauh 300 meteran, dan yang terakhir lebih dekat, sekitar 200 meteran. Semua jarak tak akurat dihitung dari rumah saya. Nomor masing-masing sama, terdiri atas tiga angka. Yang dua pertama memakai awalan A. Yang satunya memakai B. Kami bermukim di kompleks yang sama. Dan tak saling kenal.

Tentu cerita itu tak penting bagi Anda. Bagi tetangga saya saja tampaknya tidak, karena mereka punya masalah sendiri (bisa jadi juga termasuk berkembaran nomor rumah).

Bagi orang jasa pos? Beberapa kali Mas Kurir dan Pak Pos keliru mengantarkan surat untuk rumah lain bernomor sama ke rumah saya. Saya tidak tahu apakah kiriman untuk rumah saya juga pernah salah alamat ke kembaran saya.

Kenapa bisa terjadi? Bila merujuk KTP, alamat setiap rumah memang hanya nama kompleks, nomor rumah, dan nomor RT/RW. Nama jalan? Selain tak muat dalam isian KTP juga (sejauh saya tahu) legalitasnya tak jelas.

Uh, serius. Pakai istilah legalitas segala. Nama jalan itu diberikan oleh warga, bukan developer, dan saya tak tahu bagaimana Pemkot Bekasi mencatatnya. Orang-orang yang lebih dulu menempati rumah telah menamai jalan yang sebelumnya tak bernama, kemudian penghuni di jalan kosong berikutnya tinggal menambahkan nomor urut dalam angka romawi — bila perlu ditambahi A, B, C, dan D. Mudah, kan?

Nyatanya nama jalan-jalan itu sudah terakomodasi oleh peta Jakarta bikinan orang Jerman Gunther W. Holtorf edisi 1997/98, yang kartografinya dikerjakan di Hongaria. Pak Holtorf mengawali pembuatan peta sebelum ada Google Maps, turun langsung ke lapangan, sehingga dia tahu nama-nama jalan di Jabodetabek.

Jadi apa yang akan saya ceritakan sebetulnya? Dua puluh tahun saya bermukim di kompleks ini baru kemarin tahu benar rumah mana saya yang nomornya kembar dengan rumah saya dan bersua salah satu penghuninya (tapi lupa wajah mereka karena saya hanya mengantar surat mereka yang nyasar ke rumah saya).

Saya jadi tahu karena menyusuri sebagian jalan dalam kompleks, setiap pagi (dan kadang sore). Jalan-jalan? Ya.

Ah, cuma jalan-jalan di kompleks sendiri apa menariknya? Mungkin tidak ada bagi Anda. Bagi saya ini berarti kembali menyusuri rute 18-19 tahun silam ketika kerap mengajak si sulung jalan-jalan, baik dengan jalan kaki maupun skuter. Sebuah kemewahan ketika kini saya punya kesempatan sederhana ini: mengitari kompleks sendiri.

Dengan berjalan-jalan lagi saya menjumpai banyak hal. Tak hanya bertambah kenalan saling angguk tanpa tahu nama melainkan juga menjumpai aneka pengalaman, dari tumbuh-tumbuhan sampai kusir delman mencari rumput untuk kudanya karena lebih murah ketimbang membeli. Itu pengalaman yang memperkaya.

Berjalan membuat saya bisa berpindah tempat, melihat langsungm merasakan dan mendengar sendiri. Mulanya rute saya dekat lalu semakin memutar, kian jauh, seiring kemajuan yang saya alami. Sebulan lalu, pas Hari Valentina, saya terkena stroke. Sekarang sudah jauh lebih baik. Bisa menempuh 2 kilometer lebih.

pemilik delman mencari rumput untuk pakan kuda di lapangan kompleks

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *