↻ Lama baca 4 menit ↬

Kantong plastik CD Aquarius Mahakam Jakarta

KALAU KEHENDAK ZAMAN YA APA BOLEH BUAT | Judul yang mengesalkan. Saya hanya mengutip omongan seseorang. Waktu itu, Desember 2013, di Twitter ramai cuitan bahwa Aquarius akan tutup. RIPAquariusMahakam, dengan maupun tanpa tagar, cukup ramai (lihat artikel Beritagar).

Aquarius di Jalan Mahakam, Jaksel, adalah gerai terakhir dari jaringan toko kaset yang memiliki label dan studio itu. Ada empat lokasi yang disebut dalam kantong CD-nya: Dago (Bandung), Mahakam (Jakarta), Pondok Indah (Jakarta), dan Soetomo (Surabaya).

Sampai 1988, ketika kaset bajakan dari album asing juga membayar pajak (termasuk Aquarius dengan sejumlah nama, misalnya A Private Collection), toko Aquarius termasuk prestius karena lengkap dan cepat melempar rekaman baru dari band yang kurang dikenal.

Oh ya, sampai sekitar 2005, Aquarius Pondok Indah adalah toko yang sombong. Banyak kasetnya — yang diiventori dalam Novell NetWare di atas DOS dan boleh dilihat oleh konsumen — dijual dalam dengan kurs US$. Rupiah yang berlaku adalah kurs hari itu.

Tak salah ikut meratapi

Aquarius Mahakam Jaksel menjelang tutup selamanya

Kembali ke judul dan pembuka paragraf pertama. Untuk saya, tamatnya sebuah warung kecil kelontong, kedai murah sampai mahal, dan toko khusus yang saya ketahui atau kerap saya lewati, bisa menghinggapkan semacam penyesalan. Padahal saya kenal juragannya pun tidak. Dan lebih jauh lagi: jangankan menjadi pelanggan, membeli di sana pun belum pernah.

Berlebihan gaya si lebay malang? Mungkin.

Tak jelas alasan saya mengapa bisa begitu. Kalau untuk warung, toko, dan kedai berpegawai saya sering membatin padahal tak bisa menolong: “Dikemanain ya, mereka?”

Terhadap Aquarius (logonya rancangan Lesin?) juga sama, tapi bisa lebih. Bukan karena saya pelanggan CD apalagi pemborong CD. Bukan. Tapi karena saya merasa suka musik — sama seperti umumnya orang. Sesekali membeli kalau mampu. Meski tak kerap, setiap kali masuk Aquarius dan toko CD lain serasa masuk toko buku: ada kenikmatan sekadar melihat dan mencicipi padahal tak (mampu) membeli.

Maka simpati sebagian “tuips” itu bagi saya wajar. Apakah mereka dalam setahun cuma beli CD tiga kali karena MP3 dan sejenisnya (baik asal kopi maupun unduh bayar) lebih mudah diakses, itu urusan lain. Ini seperti saya menyayangkan bengkel sepeda yang tutup padahal ke sana ganti ban baru sekali — karena bengkel itu sering saya lewati.

Analog sebagai artefak

Nu Trax milik pemain lama Duta Suara di Mall @ Alam Sutera, Tangsel

Menurut siaran pers Nielsen Entertainment awal Januari lalu (lihat Intertechmedia), selama 2013 di Amerika Serikat pasar musik menghadirkan data bahwa streaming (apa bahasa Indonesianya?) naik 32%, tapi penjualan piringan hitam juga naik (33%).

Entah bagaimana di Indonesia. Tak perlu pusing dengan data, kita amati sekitar makin banyak orang memakai headphones/earphones, baik di kantor maupun dalam angkutan umum. Musik digital memanjakan banyak orang. Penyimpanan (ya medianya, ya isinya) lebih mudah. Pertukaran berkasnya gampang.

Jika menyangkut musik digital, pada lapisan pertama tentu kejujuran terhadap kebutuhan. Musik itu soal dengaran. Cocok di kuping atau tidak. Siapa dan bagaimana pemusiknya, apalagi segala tetek bengek perekaman (desainer, fotografer, ilustrator, bahkan nama studio setiap lagu dan penata suaranya, penaja instrumen dan lainnya) itu lapisan kedua. Informasinya bisa ditanyakan kepada Paman Google.

Masih pasal dengaran. Kalau telinga rewel menyukai masalah, dan rezeki menoleransi, bisa ganti player yang jleb, misalnya Astel&Kern yang harganya tiga kali iPod (lihat Beritagar); atau menambahkan DAC (digital-to-analog converter; Cambridge Audio DacMagic Plus ± Rp5,6 juta) ke dalam stereo set untuk dinikmati dengan kotak spiker.

Konsep musikal album juga boleh dianggap cuma kegenitan bagi konsumen. Beli atau dapat lagunya per trek, ngapain juga musingin soal sok keren bernama “konsep”. Ngintip videonya di YouTube mungkin bisa mengira-ngira maksudnya — kalau meleset atau terjerembab ke dalam alam tafsir, itu kesalahan pemusik dan industri.

Lalu ada di lapisan mana kemasan fisik rekaman? Ketiga. Sebagai barang yang dapat dipegang dan dilihat, ya pada kemasan. Serupa orang beli buku. Barangnya bisa dilihat dan dicoreti.

Begitulah artefak: penikmatannya bukan semata intrinsik, tentang apa yang melekat (suara untuk musik, teks untuk buku, gambar-hidup dan suara untuk video), tetapi juga soal lain yang bisa penting bisa tidak, lalu ujung-ujungnya adalah masalah penyimpanan yang butuh rak.

Dari sisi ini vinil mendapatkan tempat. Sebagai benda analog lama dia memiliki kelebihan dari kaset: batas trek lagunya kasatmata. Alat pemutarnya (turntable) yang termurah bisa lebih murah dari ponsel hebat. Denon otomatis DP-29F boleh Rp3 juta; Denon DP-200USB yang bisa merekam isi piringan hitam ke USB bisa didapat ± Rp3,8 juta. Entah berapa harga tape deck Teac dan Tascam (untuk memutar kaset) di Indonesia. Tampaknya sih di atas Rp3,5 juta. Silakan cek harga di Amazon (belum termasuk ongkir dan bea), Kaskus, atau tanya ke Bapak Gatot Widayanto (GWmusic).

Persamaan kaset, vinil, dan CD: kalau ditata rapi bisa jadi pajangan. Mau dilihat sendiri atau dipamerkan (via media sosial), itu terserah si empunya.

Siapa pamungkasnya? Kapan?

Saya tak tahu sampai kapan toko CD bertahan. Saya tak paham bisnis. Saya tidak bisa menghitung pendapatan bersih mereka karena tak tahu berapa ongkos sewa ruang di mal, gaji pegawai yang sesuai UMP, dan biaya lainnya.

Dalam pikiran awam kelas warung kecil, saya tak tahu dalam sehari (pukul 10 sampai 21.30) mereka minimal harus bisa dapat uang berapa. Memang toko CD bisa menjual lainnya, sejak kaos, headphones, sampai majalah musik; namun itu hanya tambahan. Tampaknya mereka berbeda dari toko buku yang bisa menjadikan alat tulis dan lainnya yang non-buku-bacaan sebagai pemasukan penting.

Mungkin karena menyangkut artefak maka pendekatannya analog tapi nonmusik. Sekalian jadi kedai minuman, misalnya. Disc Tarra di Mall @ Alam Sutera, Tangsel, sudah melakukannya. Disc Tarra, yang dari dulu menggemari pemutar CD Marantz dengan pemutar volume, ini pemain besar. Selain punya Societie, dia dulu memiliki sejumlah toko keren. Yang pernah terbesar dan terlengkap di Mal Taman Anggrek, Jakbar. Di sana ada tambahan dua ruang khusus, masing-masing untuk jazz dan klasik. Toko ini juga pelopor toko khusus CD secara online.

Entah bagaimana perhitungan daganganya nyatanya masih banyak toko CD yang buka. Pada beberapa toko lama, karyawannya tampak senior (memang sih, masih di bawah saya usianya). Jauh melebihi rata-rata usia pengunjung mal dari kategori lajang.

Di Pondokgede, Jabar, toko milik Harika dengan audio biasa masih buka — dan masih menjual kaset (lihat artikel Blogombal). Memang toko-toko itu juga menjual DVD, tapi dagangan yang ini juga seperti CD: rawan bajak dan bisa dinikmati di internet. Tanpa bioskop rumahan yang layak, DVD asli (apalagi Blueray) mungkin juga kurang nyus.

Dari yang buka itu ada yang jumlah tokonya berkurang, minimal ukuran ruangnya seperti Musik Plus di Plaza Blok M, Jaksel. Separuh ruangannya diambil oleh Mbok Giyem. Ada sih yang bukan jaringan dan menyerah lebih awal. Misalnya Musiklub (harga CD impornya mahal!) yang bertetangga dengan Socitie di Pondok Indah Mall 2, Jaksel. Cuitan terakhir @musiKlubpim2 28 Desember 2012: “we’ll see you again fellas…”

Kita tak tahu siapa toko CD yang akan menjadi pamungkas. Menjadi penutup. Yang terakhir. Mungkin diingat mungkin tidak. Yang pasti musik terus diproduksi dan dinikmati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *