SENI BERKORUPSI TAK PERNAH MATI | Lihatlah teks pada bagian bawah setruk: “struk tidak untuk diperjualbelikan”. Saya tak tahu kenapa Indomaret merasa perlu menambahkan kalimat itu setelah “terima kasih versi 5.0.77.0”. Apakah pernah ada kejadian setruk belanja Indomaret di tangan konsumen telah menjadi barang dagangan?
Jika ya tentu bukan tanggung jawab si toko. Dia mau memberikan setruk saja sudah bagus. Ternyata si toko memberi lebih bagus lagi: tanggap terhadap kondisi Indonesia. Apapun bisa dibisniskan untuk alat bantu transaksi fiktif, dan pihak toko jangan sampai dipersalahkan.
Yakin, setruk akan dijadikan alat bukti transaksi fiktif? Maafkan prasangka saya. Bisa saja ada yang menjualnya ke kolektor setruk belanja. Bisa saja lho…
Ah, bukankah karcis tol bandara juga pernah diperjualbelikan? Nanti dulu. Dalam pemahaman awam, pengelola jalan tol dan pengunjuk gepokan karcis di pinggir jalan sama-sama menjual karcis. Kenapa dianggap lucu?
Pengelola jalan tol tak menjual karcis. Hanya menjual jasa berupa harapan bahwa pelintas akan lancar jaya. Untuk itu pelintas harus membayar — dan memang itu pula pengertian “jalan tol”: jalan yang hanya boleh dilalui dengan membayar, bukan jalan bebas (dari) hambatan. Lalu konsumen mendapatkan tanda bukti pembayaran. Bahwa karcisnya akan dibuang atau dimintakan uang pengganti ke juragan, atau malah dijual, itu urusan konsumen. Oh konsumen penjual karcis bekas pakai juga menjual jasa berupa kemudahan, kan? Entah.
Bedanya, penglola jalan tol tak memasang peringatan. Demikian pula (setahu saya) pengelola SPBU: dalam setruk tak ada peringatan. Dulu, zaman setruk manual, malah ada saja konsumen yang meminta untuk diisi sendiri. Mungkin si konsumen memang gemar menulis dan mengisikan angka namun tak menganggap TTS sebagai tantangan.
Seorang kawan memberitahu jasa pembuatan tanda bukti pembayaran apa saja, termasuk hotel di luar negeri. Buat apa? Rèmbes. Reimburse(ment).
Memang hebat Indonesia ini. Kemampuan seni koruptifnya tinggi. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Kalau hanya ada ke-malu-an maka takkan tersedia jalan.
Terbukti (maaf) guyon wong saru bin ngeres pikir itu salah. Mereka selalu bilang, di mana ada kemaluan di situ ada jalan — sambil cengengesan.