SETALI TIGA WANG MASIH KITA PIARA | Iseng saya ketikkan “tak sesen pun” di Google. Hasilnya adalah laman Wiktionary Prancis. Abaikan saja bahasa Prancisnya atau suruhlah mesin penerjemah bekerja, ini saya kutipkan, “Locution nominale: tak sesen pun. Pas même un centime”. Ada tambahan, “Quasi-synonymes: tak sepeser pun”.
Di sana, asal muasal istilah itu belum terpaparkan dengan lengkap. Étymologie manquante ou incomplète. Si vous la connaissez, vous pouvez l’ajouter en cliquant ici. Saya juga tak paham. Saya tak dapat berbahasa Prancis.
Tentang “tak sepeser pun”, kita bisa menebak dari kata “peser”. Menurut aplikasi KBBI dalam komputer saya: “pe·ser /pésér/ ark n uang tembaga yg bernilai setengah sen zaman Belanda; rimis; se·pe·sernum serimis (½ sen): ~ buta pun aku tidak punya uang”. Ark itu arkais.
Kini uang satu sen itu tak ada. Satu peser juga tak ada. Akan tetapi sebagai istilah, masihkah “tak sesen pun” dan “tak sepeser pun” layak kita pelihara? Jawabannya mudah: terserah. Setali tiga wang masih disebut, tapi kita bisa saja kurang paham apa maksudnya selain itu bersepupu dengan “jas buka(k) iket blangkon”. Sama seperti kita juga kurang paham kenapa orang Amrik memiliki ungkapan “just my two cents”.
Nasib bahasa ada pada penuturnya. Tepatnya: penutur asli. Oh, asli? Siapa? Anggap saja kita sendiri. Adapun rumusan siapakah “kita” ya warga negara Indonesia. Bahwa seorang penutur bahasa Prancis, entah apa kewarganegaraanya, mencatatnya dalam Wiktionary maka itu kita syukuri saja.
Misalkan kita menganggap sesen dan sepeser itu layak dipertahankan sebagai istilah, lantas apa manfaatnya? Saya tak tahu. Saya hanya bisa menjawab, itu untuk memelihara ingatan kita.
Meski kita tak mengalami nilai sen dan peser, karena pecahan terkecil sekarang, berupa koin, adalah uang Rp100, kita bisa tahu bahwa ada suatu masa tatkala rupiah masih berjaya. Dulu sesen (seperseratus rupiah) masih dihitung. Blanko pos wesel (sic!) terbitan tahun 60-an masih menambahkan kotak isian “sen” setelah kotak “rupiah”. Contoh lain dapat Anda perkaya, tak hanya meterai dan prangko.
Sen adalah jejak pasca-koma. Itu isian dua digit angka setelah koma dalam penulisan angka. Ketika Ejaan yang Disempurnakan diberlakukan pada 1972, antara lain membakukan penulisan jumlah uang dalam angka bulat sebagai Rp 1.000,00 (atau Rp 1.000,00?), sen sudah tak berlaku. Padahal nol-nol di belakang koma, menurut pengandaian saya, adalah untuk pecahan sen.
Dalam perjalanan, penulisan nol-nol di belakang koma hanya berlaku untuk pembukuan dan dokumen hukum. Bahasa jurnalistik tak mau berboros karakter dengan menambahkan nol-nol kecuali ketika menuliskan jumlah uang zaman dahulu.
Misalkan kita merujuk Amerika (kita sebut saja begitu*) dalam penulisan angka, yakni mempertukarkan koma dan titik, hasilnya toh sama. Nol-nol di belakang titik tetap nol-nol, takkan terisi angka lain sampai kemudian (kelak) kita memberlakukan redenominasi ekstrem yang mengakui sen.
Manakah yang lebih diperlukan oleh rakyat: rupiah yang kuat atau rupiah yang hemat angka?
Jawaban paling santai bin selesa terhadap isu redenominasi adalah ya hemat digit, ya kuat kurs. Just my two ketips.
*) Penulisan “titik, nol, lalu koma” dalam penulisan angka Indonesia adalah warisan Belanda. Jika dalam naskah lama Anda jumpai “1,15 gulden” dan “f 1,15” itu nilainya sama. Gulden (guilder) berarti emas, tepatnya keping emas. Adapun “f” dari kata “florijn” (Italia: florin), artinya ya koin emas. Serial komik Donal Bebek yang dulu diambil dari lisensi Negeri Belanda sering memasukkan simbol “f” dalam wadah uang Oom Dagobert (baca: “oom da-kho-bèrt”; di-WNI-kan di Palmerah menjadi Paman Gober). Maklumlah, saat itu Belanda belum mengadopsi euro.