↻ Lama baca 2 menit ↬

bangku lengkung di taman langsat

SAYA MENYUKAINYA, MENSYUKURINYA | Kadang saya ke taman dekat kantor. Tak tentu waktunya. Bisa pagi saat jalan di luar mulai dipadati deru kendaraan pengangkut orang berangkat kerja. Bisa juga siang jam kerja sehingga taman tak terlalu ramai. Atau bisa juga sore saat taman, apa boleh buat, menjadi lebih ramai.

Sore sering tampak model-modelan yang sedang difoto (ada yang membawa juru rias dan pematut busana). Interaksi kecil kerap terjadi tanpa saling berbicara: pelintas taman maupun fotografer (dan modelnya)  tahu kapan harus menghentikan langkah, kapan menjedakan bidikan (dan kapan mengendorkan posenya). Sebagian besar foto dirancang tanpa latar belakang berisi orang lain.

Sore sejumlah orang berlatih lempar pisau. Tentu tak diarahkan kepada orang; mereka berlatih hingga senja menyapa taman. Suara jedak-jedok pisau menyentuh kayu sasaran akhirnya saya akrabi. Ketika cuaca lebih awal menggelap, apalagi saat azan magrib bergema, temaram taman seperti menjemba pisau-pisau itu, “Hari ini sudah cukup. Besok lagi . Tak baik berlatih belati dalam remang-remang.”

Taman kota. Untuk setiap orang. Memang harus begitu. Sekarang taman itu sedang diberesi, diberi akses lebih terbuka, untuk menemani taman tak berpagar di seberangnya.

Lima tahun lebih saya mengenal taman dekat kantor itu. Mengenal tapi tak dekat. Saya hanya ingat, lima tahun lalu ada papan kecil bertuliskan 700m untuk sekali putaran pada lintasan utama.

Saya tak kenal dekat. Tak kenal semua penjaga taman — ada yang tinggal di sana bersama keluarganya. Saya tak kenal tapi merasakan perubahannya. Lima tahun silam taman itu tak begitu dikenal kecuali oleh orang Kebayoran Baru, Jaksel. Kini taman makin rapi dan terawat. Pun kian dikenal.

Saya tak kenal dekat tetapi saya sering melintasi taman untuk memperpendek jarak menuju Melawai atau Mahakam. Saya hanya merasa kenal jembatan di atas kali itu: dulu dari kayu lalu diganti beton dan saya kurang suka. Sama seperti ketidaksukaan saya terhadap dua patung di sana — sampai sekarang.

duduk di atas papan ayunan tama langsat

Oh, ada lagi yang saya merasa kenal dekat tapi sekaligus tak saya sukai apalagi kangeni: bau busuk kali tercemar. Kali yang membelah taman. Untunglah beberapa kali sehabis hujan deras bau kali sempat berkurang banyak.

Selebihnya, apa sih yang saya kenali dari taman itu padahal saya sering memotretinya bila perlu dengan sasaran yang sama dengan beberapa bulan sebelumnya?

Saya tak mengenali kicauan yang ini dari burung apa dan yang itu dari burung apa pula. Dulu saya sempat terkesan sekali saat awal menyapa taman. Begitu banyak kicaua nyaring beraneka burung pada pagi hari. Ternyata itu kicauan burung-burung dagangan dari deretan kios di luar taman.

Saya menyukai taman teduh itu. Kadang saya hanya duduk dan tak menyesal ketika ponsel tak terbawa. Duduk tanpa membaca tanpa memainkan gawai. Tanpa merokok. Tanpa minum. Pernah saya tertidur sambil duduk; terbangun ketika mentari sudah semakin mendaki dan para pelari-pejalan pagi tak bersisa lagi.

Nyatanya saya belum menyerap lebih dalam tentang taman itu, Taman Langsat. Saya tak kenal nama pepohonan di sana. Dia masih menjadi taman ketidaktahuan saya. Semoga ini hanya masalah saya: manusia kota yang tak kenal nama banyak pepohonan. Manusia tanggung.

aku dan bangku taman langsat saat mentari kian mendaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *