ENTAH SAMPAI KAPAN IKLAN FILM DI KORAN BERTAHAN | Bukan hal baru bahwa jok taksi dipakai sebagai media iklan. Terutama sisi belakang dari punggung jok kiri-depan. Mungkin diandaikan (ah, pasti berdasarkan survei!) bahwa kebanyakan penumpang taksi itu seorang sehingga duduknya di kiri belakang.
Karena sudah jarang naik taksi, saya baru sadar siang tadi bahwa iklan film pun ada di jok taksi. Tapi kenapa dalam judul artikel ini saya menyebut “iklan bioskop”, bukan iklan film? Mengikuti endapan memori saja. Maklum saya generasi tua. Padahal Google membuktikan “iklan film” sebelas kali lebih banyak daripada “iklan bioskop”.
Bukankah “film” dan “bioksop” itu berbeda? Memang. Sejak kecil pun saya tahu sehingga mentertawakan orang yang bilang “nonton bioskop” (bukan “nonton film”). Tapi nyatanya banyak orang berkerumun bagian luar bioskop bukan untuk menonton film. Boleh jadi mereka benar, sedang menonton bioskop.
Maka jelaslah, karton terbungkus plastik dalam taksi itu adalah iklan film. Yang diiklankan bukan bioskopnya. Sekarang lebih kentara di Kompas. Iklan-iklan film tak memuat nama lokasi anggota jaringan bioskop apalagi jam pemutaran — kecuali untuk film tertentu.
Mana sajakah bioskop yang memutarnya, sebelum nama-nama bioskop dilorot oleh pemasangnya dari pampangan di koran, belasan tahun lalu bisa diakses via ponsel (SMS). Lalu ponsel berinternet mengubah semuanya dan menyadarkan para peminat film bahwa koran pagi tak perlu disimpan, iklannya tak perlu diingat, bahkan koran pagi versi kertas tak perlu dilanggani.
Halo-halo
Waktu saya kecil, di Salatiga, Jateng, khalayak menyebut mobil bioskop pengabar film yang mengelilingi kota sebagai “halo-halo”. Pengemudi mobil, atau kernetnya, mengoceh dengan diperkeras lospeker.
Seingat saya sih belum pernah sekalipun si pemegang mikrofon (atau mikropon, karena “telefoon” dan “telephone” menjadi “telepon”, bukan “telefon”), menyebutkan “halo-halo”.
Yang pernah saya dengar, seperti umumnya orang mencoba mikrofon, adalah “tes-tes” — tapi tak ada yang menyebutnya “montor tes-tes”. Tetap saja “montor halo-halo”.
OOT: Garuda Sugardo pintar, pada medio 1990-an menamai produk Telkomsel sebagai kartuHalo karena halo-halo memang identik dengan telepon. KBBI pun mengakui “halo” sebagai “kata yg digunakan untuk mengawali percakapan melalui telepon” dalam urutan pertama penjelasan arti.
Dari mobil halo-halo saya mengenal judul film dan nama aktor. Poster film yang ditempelkan pada mobil membantu pencocokan nama. Manakah cara mengeja Sean dari Connery menurut lidah lokal: “sé-yan”, “sèn”, “sén”, atau “sin”? Waktu tak ada “saun” maupun “syaun”. Pokoknya terserah orang bioskop, termasuk sopirnya.
OOT: Kemudian TVRI membantu pengenalan cara mengeja nama asing, untuk saya cocokkan dengan koran. Setelah dewasa, dan bekerja di media, saya baru tahu bahwa teleks (apa? teleks? dasar jadul!) dari kantor berita asing menyertakan sisipan pronouncer untuk nama non-Inggris — misalnya Prancis dan Thai. Pronouncer itu akan sangat membantu penyiar radio dan TV.
Programa, poster, baliho
Apa lagi yang saya kenang dari iklan bioskop merangkap iklan film? Anak-anak sebaya saya waktu itu, awal 70-an, menyebut flyer atau selebaran yang merupakan poster versi mini (sekitar B5; 250 x 176mm — kalau tak salah) sebagai “programa”. Saya tak tahu kenapa disebut begitu.
Tak semua anak kebagian programa. Seringkali si halo-halo memilih tampang orang. Anak-anak yang mendapatkannya biasanya memasang lembar berkilau itu untuk menyampuli buku tulisnya — padahal tak bisa menutupi seluruh sampul buku.
Gambar yang disukai anak-anak hanya selebaran penuh warna di atas art paper, bukan yang monokrom di atas HVS. Gambar jagoan jelas paling laku dan menimbulkan kekaguman bersama teman sebaya — lagi pula gambar wanita cantik yang berbusana dalam gerah pasti diminta anak-anak yang lebih besar.
Yang paling mewah tentu poster (one sheet). Dulu barang langka — tak seperti sekarang yang ditempelkan di tiang jembatan penyeberangan dan tembok lahan kosong, berderet-deret pula. Dulu tak semua orang dalam kota seluas satu kecamatan dengan sembilan kelurahan itu bisa mendapatkannya, bahkan yang bekas sekalipun. Biasanya pemilik rumah makan bisa mendapatkannya. Kalau pemilik toko? Mungkin mereka memperolehnya namun dipasang di ruang dalam, bukan ruang toko yang didingnya sudah penuh rak dagangan.
Kini poster dijual. Bahkan selebaran jadul pun dijual. Termasuk selebaran monokrom dengan cetak letterpress (bukan offset). Cari saja di Blogspot banyak lapak.
Kalau baliho? Ada dua yang mengesankan saya waktu kecil. Pertama: setelah saya dekati, karena sedang diturunkan oleh petugas bioskop, ternyata gambarnya kasar. Kedua: wajah aktor dan aktris tak selamanya mirip dalam poster dan selebaran, apalagi majalah yang saya lihat. Bahkan beda bioskop pun gambar wajah dalam baliho tak mirip plek ketiplek.
Tentang perbedaan baliho manual itu, seorang teman saya di SMP bilang, “Lebih gede susunya bintang pilem di Reksa.” Dia membandingkan baliho di bioskop Ria dan Reksa.
Kok memperhatikan? Selama tiga tahun, semasa SMP, sekolah saya di depan sebuah bioskop.