Gunting: Tak Mewah, Beli Ogah

Gunting rumah makan diikat tali, mungkin supaya tak dibawa pulang oleh pengudap.

▒ Lama baca 2 menit

gunting dalam kotak cemilan resto ngalam pondok indah jakarta

KITA INI PELUPA ATAU TAMAK? | Makin banyak kedai yang menyediakan gunting dalam baki camilan. Maklumlah semua penganan terawetkan itu dibungkus plastik. Di Resto Ngalam, Jakarta, misalnya. Gunting tersedia dalam kotak camilan setiap meja. Di warung bakmi jawa gunung kidul, Pondokgede, gunting menemani aneka kerupuk yang digantung.

Persamaan kedua kedai itu adalah guntingnya diikat tali. Besar kemungkinan bukan untuk mencegah gunting dimakan tetamu melainkan supaya gunting tak dibawa pulang.

Memangnya pernah terjadi gunting raib? Entah. Saya tak mencari tahu karena malu. Takut disangka kepo oleh pemilik kedai.

Zaman dulu pengalaman adalah guru terbaik, lalu dikoresi menjadi “guru terbaik dari IKIP” (sebelum institut menjadi universitas,; tapi ISI, ITS, dan ITB tak menjadi universitas), dan kini kembali ke zaman lawas. Pengalaman adalah guru paling oke. Tak perlu pengalaman sendiri. Pengalaman orang lain pun cukup. Maka gunting pun diikat.

Padahal gunting milik kedai itu di bawah kelas guntingnya penjahit, toko cita, maupun salon dan rumah cukur. Gunting kedai cuma gunting biasa. Dalam setahun mungkin sudah tumpul. Tak perlu diasah berkala. Membeli lagi setahun sekali masih layak. Tapi kalau seminggu sekali, gara-gara digondol tamu, membeli barang Rp10.000-an rasanya sayang.

gunting kantong camilan warung bakmi jawa di samping jalan tol JORR pondokgede, jabar

Memang sih, ada masa ketika gunting menjadi barang mewah. Ketika saya masih kecil, kadang saya jumpai keluarga yang tak punya gunting sehingga harus meminjam jiran seberang rumah. Kalaupun punya hanya satu, untuk seisi rumah. Tak ada gunting pribadi. Masih lebih bergaya keluarga peladang dan petani karena ada arit pribadi sejumlah lelaki remaja dan dewasa di rumah.

Kalaupun betul ada gunting dibawa pulang — dalam sangkaan baik: terbawa pulang — padahal gunting bukan barang mewah, apa ya yang mendorong pelakunya?

Kalau ada niat berhemat kok terlalu — atau mungkin memang kolektor gunting. Kalau pelupa kok menyamakan gunting dengan bolpoin dan korek gas: boleh berpindah tangan tanpa disadari pengambil maupun yang kehilangan.

Rasa aman dan kepercayaan kepada orang lain. Dua hal itu satu paket yang berwujud kertas terlipat. Ketika digunting maka rasa aman dan kepercayaan sama-sama terpotong. Untuk mencegahnya gunakanlah tali.

Akan tetapi… bukankah tali juga bisa dipotong oleh gunting yang diikatnya, terutama jika talinya terlalu panjang, atau menggunakan gunting dari meja sebelah? Aha! Lucu nian. Ya pemiliknya, ya calon pengambil yang mengurungkan niat. Masing-masing mencoba merawat kepercayaan dalam kehidupan sosial.

Nota: Bisa saja pemilik tak takut guntingnya dicuri, hanya tak mau repot jika gunting tak dikembalikan ke tempat yang benar. Tapi faktor itu saya buang, karena fokus saya adalah prasangka akan ada yang membawa pulang gunting. :P

Tinggalkan Balasan