↻ Lama baca 3 menit ↬

ponsel jadul sony ericsson walkman 850 tanpa kamera

Malam itu nomor asing masuk membunyikan dering garing. Mungkin dari penjaja kredit tanpa angsuran (demikian saya mengartikan KTA). Kali itu saya angkat ponsel saya. Suara itu agak saya kenal.

“Apa kabar, Mas? Lupa ya?” tanya suara seberang.

“Mmmm… ini  Macan, kan? Apa kabarmu? Di mana ini?”

“Iya, hahaha. Untunglah Mas masih ingat. Aku lagi di luar kota. Cuma mau ngabari aku pakai nomor yang ketiga ini. Dua nomor lama sudah aku matikan. Dihapus aja itu yang lama.”

“Luar kota? Jakarta? Lagi jualan dagangan bos besar ya?”

“Hahaha ya begitulah. Ya wis gitu aja, ya. Sampai jumpa.”

Nomor lama Macan saya hapus.

Kitalah yang memberi informasi

Sejam kemudian Macan menelepon lagi, mengabarkan si Kancil (yang disebutnya, “Iya Kancil, teman lama kita itu…”) sedang kritis di rumah sakit. Ujung-ujungnya dia minta saya menalangi biaya rumah sakit (entah operasi apa), kirim ke rekening keluarga Kancil, “Besok pagi aku ganti, soalnya ini di luar kota nggak ada ATM.”

Kepada Macan, saya bilang sedang miskin. Saya bilang, kenapa tak mengontak Tarzan, teman kami berdua? “Oh, Tarman! Gimana kabar dia? Aku minta nomor Tarman dong. Nomor dia kehapus.”

Tarman, bukan Tarzan? Sinyal buruk dan penyakit saya (artikulasi buruk) membawa hikmah. Dia tetap sok kenal dengan Tarzan yang menurutnya bernama Tarman, dan terus blablabla dengan nada terburu-buru, karena nasib si Kancil gawat sekali.

Tebakan Anda benar. Itu jurus penipu. Ujung-ujungnya saya meng-SMS Tarzan, minta nomor Macan yang sudah terhapus. Akhir cerita sudah jelas. Macan baik-baik saja di kotanya, nun di tepian Indonesia sana.

Nama Macan dia iyakan. Saya yang memberi nama. Dia tak perlu mengaku.

Luar kota adalah Jakarta, dia iyakan. Bukan dia yang mengaku berada di mana.

Nama Tarzan, saya yang memberi tahu. Bahwa Tarzan kemudian menjadi Tarman, itu karena sinyal, artikulasi, dan pendengaran dia tak nyambung dengan memori di otaknya – ternyata di kepalanya memag tak ada nama Tarzan, padahal kami bertiga akrab.

Rasanya sih pola penipu macam ini klasik. Sama klasiknya dengan keteledoran kita berbagi informasi kepada orang yang kadung kita yakini sosoknya padahal siapa dia tak jelas.

Bagaimana kalau orang lain yang berbagi info tentang kita?

Bukan sepenuhnya salah mereka. Yang saya maksud mereka adalah orang rumah dan kantor yang kadang terlalu informatif dan “temolong” (helpful, temulung) terhadap penelepon asing.

“Oh, belum pulang malam gini? Memang Pak Antemono sekarang ngantor di mana?” tanya suara di telepon kepada anggota keluarga kita. Entah mengaku sebagai apa dan siapakah dia sehingga penelepon asing bisa menggiring penerima.

Jawaban paling aman adalah ngawur, “Kerja di proyek jalan layang Serpong-Cibubur.” Jawaban paling tidak aman bisa Anda terka.

Bisa juga orang kantor ketika ditelepon si asing menanyakan kebiasaan Anda berangkat-pulang kerja, supaya bisa mengajak meeting, maka jawabannya lugu , “Biasanya sih pagi sebelum jam lapan beliau udah ada. Pulangnya di atas jam lapan nunggu macet berkurang, Mbak.”

Ada lagi ini, suara telepon ke nomor rumah mengabarkan, “Ini rumah, Boy kan? Bisa dengan orangtuanya? Saya satpam di sekolahnya. Barusan waktu nunggu jemputan, Boy ketabrak mobil.”

Seorang tante di rumah itu, karena tahu itu telepon dari penipu, langsung menjadi  kesal, “Ketabrak halah! Sekolahnya kan libur. Itu Boy lagi di kamar.”

Informasi telah dibagikan karena jengkel. Si penipu tinggal menjahit potongan demi potongan informasi menjadi baju opersional untuk beraksi. Korbannya bisa orang lain.

Pelit info? Apa boleh buat

Seorang perempuan, teman lama seorang ibu, setelah mendapatkan nomor ponsel si ibu beberapa hari kemudian dan bisa menelepon, langsung marah-marah, “Itu Mas Bongkrek sok banget sih. Udah pangling sama suaraku, masih pelit pula. Masa sih waktu aku minta nomormu dia bilang, ‘Bukan kewenangan saya ngasih nomor hape istri ke orang lain.’ Dia itu suamimu atau satpammu sih?”

Lho, bukannya sekarang zamannya media sosial? Ada Facebook dan Twitter. Tapi tak semua orang punya akun di sana. Yang tercatat sebagai pengguna pun belum tentu aktif. Yang memakai ponsel modern pun belum tentu memasang aplikasi BBM, Whatsapp, dan lainnya yang berfiturkan percakapan kelompok.  Maka tipuan via telepon suara pun masih laku.

Tipuan lain, langsung datang menemui korban, pernah dialami ibu saya. Ibu tahu dia menipu dan cuma menjahit potongan demi potongan info, tapi bagi Ibu lebih baik segera memberi uang supaya tamu yang mengaku teman saya semasa SMA itu segera enyah.

Kenapa dia bisa sampai ke rumah kami? Itu berawal dari kunjungan ke orangtua salah satu teman saya, kemudian perca demi perca dia rangkai. Entah sudah berapa rumah dia datangi.

Titik tolaknya adalah jawaban ibu teman saya tentang anaknya, Shania, yang bermukim di luar kota, dan pertemanannya dulu: “Oh berarti njenengan juga temannya Ali, Badu, Charlie, Desi, sama siapa itu… oh ya. Erni dan Fitria? Mereka dulu sering main sini.”

“Nuwun sèwu, kalau Ali sekarang di mana ya, Bu?”

“Lho si Ali kan mantu saya, dapat Gladys, adiknya Shania. Tapi Anwar, kembarannya Ali itu, sampe sekarang belum nikah.”

Gotcha!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *