↻ Lama baca 3 menit ↬

setruk pendebetan di indomaret 10/12/2013

AH, KALAU SAJA KESABARAN DAN  KEWARAS ADA SETIAP SAAT | Cangklong atau cengklong? Cangklong itu pipa tembakau untuk mengasap. Cengklong itu dari bahasa Jawa. Artinya p(em)otongan terhadap sejumlah uang. Ada istilah yang lebih mudah: debit.  “Dè-bêt” dan “dé-bêt”, begitu sebagian orang melafalkannya karena “debit” dihubungkan dengan pergerakan volume air per satuan waktu. Lalu? Kalau judulnya “Kartu Debit Terdebit…” kurang enak (bagi saya). Maaf, ngaco.

Periksa baik-baik

Maka kembali ke judul, itulah pengalaman saya. Kemarin saya berbelanja tak seberapa ke sebuah Indomaret. Letak mesin gesek merepotkan kasir maupun saya. Begitu selesai menggesek, lalu nat-nut-nat-nut pencet tombol, si alat saya putar, saya serahkan kepada kasir. Biasanya lancar jaya. Tapi kali itu, “Nggak bisa, Pak. Mungkin PIN-nya keliru.”

Saya ulangi lagi. Tetap hanya memeriksa “receiving” dan “approve“. Alat saya kembalikan lagi ke kasir. Masalah berulang.

Saya lakukan yang ketiga, kali itu menatap layar lebih lama. Ternyata ada pesan bahwa kertas setruk habis. Saya bilang ke kasir. Rol setruk dia pasang. Kertas cetakan keluar. Transaksi selesai.

Tapi saya was-was. Bagaimana kalau dua transksi sebelumnya tetap dibukukan oleh bank?

Kasir satunya bilang, “Nggak, Pak.” Dia cetak tiga lembar setruk. Tentu nomornya sama karena itu hanya duplikat dari transaksi yang sama. Ketimbang repot dan mengganggu pengantre orang lain saya pulang ke kantor, tak sampai dua ratus meteran.

Sampai di kantor segera saya periksa laman kenasabahan bank karena ponsel saya tidak bisa. Benar. Saya terdebet tiga kali. Saya unduh transaksi sebagai berkas PDF, saya masukkan ke ponsel. Saya kembali ke toko itu.

Jangan terburu marah (kalau bisa)

Dari belakang meja kerjanya, dua kasir melihat saya memasuki halaman toko yang malam itu terang. Bahasa tubuh menunjukkan mereka tahu saya membawa masalah. Tapi saya  tak mau ribut, jadi tontonan pula. Saya hanya berbicara pelan kepada kasir B yang tadi mencetakkan setruk, sambil meminta kasir A tetap melayani pengantre lain. Bukti saya tunjukkan melalui layar ponsel. Dia pun mencocokkan dengan si alat.

“Jadi, Bapak ingin uang tunainya balik?” tanya si B.

Saya mengangguk. Saya senang, dia paham masalah.

“Tapi gini… (diam, agak bingung). Bisa sih, tapi Bapak harus belanja dulu.”

“Husss, kamu ini,” sahut saya, tanpa nada keras, tanpa nada tinggi, “masa sih saya harus keluar uang untuk dapatin uang saya? Ini hak saya, bukan soal nilainya. Bayangin kalo nilainya ratusan ribu, atau saldo pembeli udah abis.”

Dia bingung. Agak gelisah. Sorot matanya seperti barusan terdebet.

Mencoba memahami masalah orang lain

Sedari tadi saya kalem (kayak lembu). Cuaca hati bagus. Pikiran rada jernih. Mungkin karena ada seorang jenderal sedang masuk angin. Yang sedang bermasalah sebenarnya dua pihak: saya dan dua kasir itu.

“Ssttt… gini. Saya paham masalah kalian. Uang saya kedebet, duit saya masuk ke toko, padahal kalian nggak dapet untung apapun, tapi saya rugi, ” kata saya kepada kasir B. Saya menyapa mereka “kalian” karena umurnya kira-kira seperempat saya.

“Iya, Pak. Bener. Emang itu masalahnya.”

“Ya kita atasi bareng. Gimana caranya supaya uang saya dari dua transaksi itu balik, tapi kalian nggak dapet sanksi dari supervisor atau manajer atau apa gitu kan? Kan ini bukan penggelapan?”

“Iya…”

“Kalian juga nggak mau kedenda atau apa, harus mempertanggungjawabkan, gitu kan?”

“Emang sih, Pak.”

“Ya udah gini. Kasih saya uang, bukti kalian simpan, kalo perlu saya tanda tangan dan saya kasih nomor hape saya supaya kalian nggak dapet masalah. Saya siap dikontak atasan kalian kapan aja, tapi   nge-SMS dulu soalnya banyak banget telepon nyasar. Kalian salah tapi bukan karena kesengajaan. Soal teledor aja waktu kertasnya abis.”

Sepakat. Mufakat. Sorot mata kedua kasir kembali ke saldo pikuran terakhir. Saya dapatkan hak saya. Dan saya harapkan dua pemuda itu tak menuai masalah.

Mencari solusi bersama, menyelamatkan muka “lawan”

Intinya itulah yang terjadi. Ada win-win solution. Sebiasanya saya tidak ofensif karena bisa membangkitkan naluri pertahanan diri manusia dan makhluk  manapun: membela diri, bila perlu membabi melek tapi pura-pura buta, sehingga ujung-ujungnya komposisi persoalan berbalik menjadi 70% piskologis dan  30% substansial — padahal ini memperberat solusi.

Oh! Hahaha! Ini njiplak pelatihan apa begitu yang disebut seminar? Atau saya barusan ikut pelatihan?

Tidak. Proses itu muncul dan berjalan begitu saja.

Wah, bisa buat materi pelatihan, buat contoh, dong? Salah.

Saya sendiri melakukan begini mungkin tiga tahun sekali. Ingin ada kemajuan sih, misalnya menjadi satu setengah kali — dalan tiga tahun.

Saya yang harus ikut pelatihan. Terus menerus. Belajar dari kelas besar bernama Kehidupan yang tak mengenal naik kelas (dan tinggal kelas) maupun sertfikat. Juga tak ada kepala bagian kurikulumnya —  pun tanpa SPP.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *