↻ Lama baca 3 menit ↬

seorang pria berjalan di pelataran pondok indah mall 1

Pertanyaan itu bukan gugatan. Dilontarkan secara serius lagi tulus kepada orang yang salah, yaitu saya. Kalau jawaban saya salah, itu salah yang bertanya, bukan yang menjawab.

Dalam kemasan ulang yang seolah diskusif (padahal searah, hanya ceramah) begini jadinya. Silakan simak.

Ada media sosial, ada social media. Lalu ada media massa. Apa bedanya?

Media massa itu istilah kuno. Makanya dulu ada partai besar yang bikin Satgas Massmed, bukan Satgas Medmass. Nggak soal, karena si partai besar dulu nggak merasa sebagai partai. Jadi kalo ngaco dalam berbahasa, itu memang fitrahnya. Media massa itu media informasi yang dibikin oleh pabrik. Isinya sesuai selera si pembikin dengan mengatasnamakan selera orang banyak.

Jawab media sosial dulu baru media massa, Pak!

Oh media sosial  itu media yang isinya dibikin oleh penggunanya, nggak pandang bulu kaki atau ketiak apakah dia sosialis atau liberal. Semuanya cuma istilah. Saat ini yang laku “sosial”. Apapun yang membuat banyak orang berhubungan dan bisa dilihat maupun dinikmati bareng-bareng disebut sosial. Kata sosial nggak ada hubungannya dengan kedermawanan.

Kalau social media itu istilah Inggris, cara melafalkannya boleh secara Indonesia, nggak perlu kuminggris. Suka-suka ndoro sinyo, kacung mau apa.

Media itu apa, ya anggap saja baki. Tempat menaruh sesuatu atau banyak-suatu untuk diantarkan.

Lantas apa pula jejaring sosial? Kayaknya baru…

Halah, itu juga cuma istilah. Jejaring sosial itu istilah lama sebelum ada internet. Dalam bahasa sok sekolahan kalau nggak salah berarti jalinan kerja pertautan hubungan antarorang dalam sebuah masyarakat. Ada kata “kerja” karena kalo cuma kenal tanpa persamaan kepentingan, belum pernah kerja sama misalnya urusan sekali jual-beli dengan tawar menawar, maka belum menjadi network.

Jangan percaya rumusan di atas, karena saya paling malas cari rujukan apalagi kalau berupa buku. Cuma ngandalin kebatinan buat ngadalin.

Nah, dalam jejaring sosial ada media sosial untuk pertukaran kabar dan salam. Yang namanya tukar kabar bisa “minggu depan saya nikah lagi, nggak usah dateng tapi kudu merestui”. Bisa juga ngutip ocehan TV dan koran, misalnya “Presiden nggak akan mengundurkan diri soalnya nggak ada yang minta”.

Kalo salam, ya seperti “selamat dini hari Temanggung, semoga kantuk batal menelikung.” Ada juga yang seperti ngoceh sendiri tanpa sasaran tapi sebenernya cari perhatian. Misalnya “kangen”, “laper”, “jingkrak2”. Kalo nggak ada yang ngerespon malah kecewa. Nah, kekecewaan itu bukti dia masih sosial. Masih butuh orang lain.

Kok panjang penjelasannya?

Biar sampean mbelenger lalu kapok nanya.

Tapi saya bebal. Boleh nanya lagi ya?

Silakan. Dan saya nggak berkewajiban menjawab secara pas.

Anu… menyebarkan berita TV dan koran itu kok kayak zaman bapak saya ya. Apa itu namanya. Tapir eh kecipir apa gitu…

Oh, klompencapir?

Ya! Seratus!

Beda. Klompencapir dulu digerakkan oleh kementerian agitasi dan  propaganda pemerintah, seolah-olah inisiatif warga tapi harus ada. Nggak boleh ngomongin yang menyimpang dari garis penguasa, misalnya kenapa orang Koramil mencabuti tanaman yang bukan padi atau menangkap orang semaunya. Lagian di TV dan radio itu nggak dibahas. Kalo di media sosial boleh ngomong apa saja, dan orang lain menanggapi apa saja — atau malah dicuekin aja.

Lebih banyak mana di media sosial, ngelontarin kabar sendiri atau nerusin berita koran dan TV?

Maksudnya nyebarin judul berita? Saya bukan peneliti dan males nyari tahu. Yang saya tahu, koran dan TV juga pada nyemplung ke media sosial dengan harapan beritanya jadi obrolan orang banyak.

Mestinya media sosial sama media massa itu bisa ada topik yang beda, tokoh yang beda?

Mestinya? Siapa yang mewajibkan? Garisnya nggak selamanya tegas. Di satu sisi media sosial ngomongin kabar dari pabrik berita, lalu di sisi lain media massa tadi juga memantau apa yang diomongin di media sosial. Kalo sampean bikin video aneh dan lucu di YouTube, atau ngolah video dari TV jadi video kocak, dan banyak yang suka, maka pabrik berita juga akan mengangkatnya.

Apa saya bisa jadi tokoh di media sosial?

Bisa. Tokoh dalam arti dibahas oleh banyak orang, kan? Sangat bisa, tapi saya nggak tahu ilmu untuk mencapainya. Kayak kehidupan nyata kok. Kalau nama sampean dibahas banyak orang, entah apa sebabnya, maka sampean itu tokoh. Minimal untuk sesaat. Twitter membuktikannya dengan penyebutan dan jumlah pengikut.

Meskipun bukan tokoh, setiap orang bisa masuk  beritanya media sosial kan?

Bisa, asal ada yang mau memberitakan. Dalam kasus Twitter, kalo sampean disebut oleh seseorang yang pengikutnya banyak, itu sudah berita. Bisa mengalahkan berita penawaran saham perdana di koran dan TV.

Lha orang-orang dapat manfaat apa kalau ada yang memberitakan saya di media sosial?

Walah, di kehidupan sehari-hari kalo teman-teman mbahas mobil anyar sampean, memangnya mereka dapat manfaat? Apalagi kalau mobil itu sebenernya sampean umpetin di carport, bukan dipamerin, tapi ada yang usil nyebar info?

Wah ndak enak!

Nggak enak kalo merugikan.  Kita bisa protes dengan alasan pelanggaran privasi, tapi tetap nggak digubris.

Kalo menguntungkan, karena membanggakan, misalnya saya dapat sapi dari Menteri Pertanian?

Kalo buat sampean itu membanggakan, apalagi yang nyiarin fotonya itu orang lain, makanya sampean bisa berkelit nggak pamer, ya silakan dinikmati.  Kalo sampean sendiri yang nyiarin, ya kudu dinikmati.

Tapi kalo lain hari saya nyesel, malu, gimana?

Nyesel dan malu itu masalah sampean. Kalo nggak ada yang tahu ya jalani saja. Kalo orang lain ngingetin, sampean anggap saja cari masalah. Konon di media sosial itu tabu mengangkat arsip yang bikin seseorang malu, padahal arsipnya bisa dibaca semua orang.

Jadi, media sosial itu apa? Soal malu atau menguntungkan?

Kayaknya lebih baik sampean nraktir saya makan siang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *