Dunia ini Milik Anak Muda

▒ Lama baca 3 menit

distro di panglima polim jakarta selatan

“Produk dan proses dia keren. Sayang kurang bergema di kalangan anak muda. Dia sudah tua, kayak saya, tapi dia kesohor. Sayang produknya nggak dipasarkan oleh orang yang paham anak muda. Dunia ini milik anak muda,” kata saya.

Saat itu saya mengomentari sebuah buku (yang belum sepenuhnya saya baca), hasil dari sebuah ekspedisi pribadi yang disertai dokumentasi dan pameran dan mungkin diskusi. Tapi kesan saya, itu semua tak dipedulikan anak muda.

“Mestinya komunikasi ginian ditangani anak muda kayak Raditya Dika. Pasti lebih didengar,” teman saya menimpali.

Dunia anak muda

Tidak, tidak. Saya tidak iri apalagi dengki. Saya juga pernah muda: banyak gagasan (tepatnya: impian), merasa menggenggam masa depan, dan punya dunia sendiri.

Jujur saya akui, beberapa tahun lalu kadang saya merasa terlalu dini lahir. Gagasan di masa muda, dan peluangnya, sekarang lebih mungkin diwujudkan; maklum, dulu belum ada. Nyatanya energi dan terlebih pemahaman saya terhadap dunia tetap tertinggal.

Jadi misalkan saya lahir tahun 80-an, lalu menyesali diri dengan cara yang sama, maka sepuluh tahun lagi saya ingin terlahir kembali sebagai produk 90-an. Tak masuk akal.

Seseorang, dan kelompok sehaluannya, tak tercipta dari ruang hampa langsung jadi pemuda pemilik SIM yang bisa bikin apa saja dari kaos sampai film. Dia dibentuk oleh waktu dan banyak hal, termasuk perkembangan teknologi dan ekonomi.

Maka ketika Tempo membuat laporan khusus tentang penyair Wiji Thukul, teman saya yang sebaya berkomentar, “Memang ada yang ingat siapa Thukul?”

Mungkin hal yang sama bisa dia lontarkan ketika Tempo mengemas Yap Thiam Hien dalam laporan khusus: siapa yang peduli? Juga ketika Kompas dan media cetak (atau versi media digital yang berbayar) memiliki konten bagus, tapi kurang bergema di media sosial karena sulit dibagikan. Harus login dan bayar.

Perantara: anak muda untuk anak muda

Tak ada perantara yang mengantarkan konten sejarah dan lainnya, lalu mengemas ulang, menjadi materi layak bincang kepada dunia belia. Begitukah? Bagi saya, janganlah memaksa anak muda berpikir seperti orang tua. Mereka punya minat, kepentingan, dan cara berpikir yang berbeda.

Maka kalau ada generasi saya menyebut pengguna fotografi digital cenderung boros jepretan, karena tak mengalami dunia film negatif (dan positif) beserta proses cuci-cetaknya, itu sungguh tak relevan.

Waktu mereka (maksud saya: kami) memakai kamera berfilm, pasti juga merasa aneh jika diingatkan bahwa generasi terdahulu memakai satu lempengan satu jepretan, dan ketika memotret orang mereka minta semua yang terpotret diam mematung sekian detik.

Tentu dunia ini tidak hitam-putih. Goenawan Mohamad (GM eh @gm_gm) bisa diterima anak muda dan bahkan anak-anak muda di media sosial yang tak pernah membaca tulisan GM di luar Twitter dan Facebook.

Suatu hari teman saya ingin membuat situs yang “tidak menampilkan kolumnis dari main stream media”. Alasannya, “Kita nampilin penulis baru yang berasal dari media sosial untuk anak-anak muda.”

Saya tersenyum. Tanpa dia tampilkan pun mereka sudah dikenal anak-anak muda. Kicauan mereka di Twitter disimak puluhan ribu bahkan ratusan ribu pengikut. Blognya yang ramah Google dikunjungi puluhan ribu kali, bahkan ratusan ribu kali, per bulan. Tak seperti blog ini:  dibuat oleh orang tua tapi tak jelas menyasar siapa, dan lebih aneh lagi demografi pembacanya juga tak terpetakan.

Yang namanya media arus kuat saat ini ya Twitter. Justru opini, artikel, dan berita kisah (features) bagus di koran cetak — beserta versi digital berbayarnya — yang tak sampai di jejaring sosial kaum muda.

Saya mencandai teman saya, kalau ingin menyampaikan konten yang berbeda, ambillah konten dan pembuatnya dari sebuah terra incognita bernama media cetak. Bukan jaminan lebih bagus, tapi yang pasti eksotis karena berasal dari dunia lain — ada unsur jadul dan asing di mata anak muda.

Konten bisa dari mana saja. Kalau ingin menggapai anak muda ya harus melibatkan anak muda. Mereka lebih tahu bagaimana menyapa kaumnya, dengan gaya ungkap yang mungkin tiga bulan sekali berubah.

Keterbatasan dan kelimpahan informasi

Masih saja ada teman dengan gerutu lamanya. Katanya, anak muda sekarang tak peduli “album konsep” karena lagu bisa dibeli eceran dari iTunes dan Amazon.

Saya tersenyum. Dulu pun saya beroleh kesan, konsep hanya ada di pemusik dan pembuat sampul album. Yang penting bagi konsumen itu lagunya enak dengar atau tidak.

Lantas konsep ada di mana, selain di kalangan para penikmat musik berwaktu luang yang mendengarkan musik sambil membaca teks kecil pada sampul piringan hitam, dan CD (serta kaset)? Oh ya, mungkin ditambah majalah musik impor edisi kedaluwarsa karena internet belum ada.

Ada lagi keluhan dari teman lain, “Gampang banget anak-anak muda itu berkilah kalo ngomongin soal lama, ‘Saya kan belom lahir, Oom! Tapi untuk hal yang mereka minat, gak ada kilah itu.’.”

Suatu hari ketika keponakannya menanyakan Led Zeppelin, teman saya mengelak, “Males ah jelasinnya, soalnya kamu kan belom lahir. Hari gini katamu semua informasi ada di internet, kok masih nanya.”

Masih soal “soalnya saya belom lahir”, teman saya yang lainnya lagi heran. Katanya, “Dulu kita juga nggak ngalami masa jaya Pram, Wiratmo Sukito, STA, Sam Saimun, Said Effendi, Nasution, Simatupang, Sjahrir, tapi kita mau belajar tentang mereka, kan?”

Saya sih nggak ikut mempelajari yang berat-berat. Yang saya tahu, waktu itu informasi tak sederas sekarang. Karena adanya cuma itu yang mereka baca juga itu — selain membaca Kho Ping Hoo dan S.H. Mintardja (dan cerita stensilan).

Iya, mirip membaca teks sampul kaset Indonesia keluaran Musica Studio’s 70-80-an. Generasi saat itu sampai hapal tak hanya merek instrumen, penata suara, pencipta lagu, fotogrefer, desainer grafis, tetapi juga nama pembuat kopi yang masuk kredit: Rick Warsiman. Maklum gnerasi dulu kurang bacaan. Mereka menjadi karnovora: apa saja dibaca karena adanya itu.

Tinggalkan Balasan