↻ Lama baca 3 menit ↬

POTRET ORANG IBU KOTA DALAM MENJALANI MODERNITAS.

Kalau bukan ke mal ke mana lagi? Itu terbukti kemarin, Kamis 15 November, saat liburan Tahun Baru Hijriah. Mal-mal penuh.

Mal adalah sarana rekreasi keluarga sekalian cuci mata, tak hanya terhadap dagangan tapi juga gaya busana orang. Makin bagus mal kian keren orang dan busananya — pun perlengkapannya, sejak kereta bayi sampai tablet yang dimainkan anak-anak supaya tak merepotkan orangtuanya berbelanja.

Pada musim hujan mal adalah pilihan terbaik. Pengunjung tidak hanya takkan kepanasan tapi juga takkan kehujanan. Kalau mau, dengan bantuan aplikasi penghitung langkah dan jarak pada ponsel pun orang tetap dapat mengukur seberapa banyak dia melakukan gerak badan setelah memutari seluruh lantai.

Dalam mal, perbedaan pagi dan sore bahkan malam tidak penting. Hanya perut lapar dan pintu toko bertanda “tutup” yang mengingatkan perjalanan waktu. Mirip arena judi: orang dibuat lupa waktu.

Parkir dan jalan kaki

Hari libur di mal telah menjadi bukti kekonyolan Jakarta Raya. Setelah menembus kemacetan di jalan tertentu, pengunjung harus dipusingkan oleh kesulitan parkir, sampai satpamwan dan petugas parkir serta valet pun kewalahan.

Mal seperti Gandaria City punya solusi: area parkir di gedung, untuk kantor penyewa, bisa dimanfaatkan. Begitu pula mal lain yang sekompleks dengan gedung perkantoran.

Untuk Pondok Indah Mall, kalau pakiran mal satu dan dua penuh maka mobil dipersilakan ke kawasan tetangga,  yang sama-sama properti dari pengembang yang sama. Dari sana tersedia bus ulang alik, berupa Isuzu Elf yang disewa dari Blue Bird untuk membawa pemarkir ke depan lobi mal.

Ya, ya, ya. Saya paham, ada masalah sepatu hak tinggi, anak kecil yang rewel, berpayung saat hujan tetap saja merepotkan, dan entah apa lagi. Tentu perlu ditambahkan pula rendahnya tingkat kenyamanan trotoar dan jalan, yang diperkaya keselamatan pejalan kaki terutama saat menyeberang.

Komplet sudah alasan untuk menolak jalan kaki. Padahal kota yang baik, yang artinya didukung oleh arsitektur yang ramah, mestinya memuliakan pejalan kaki.

Perilaku berkendaraan di mal

Tak sedikit orang yang konsisten baik di jalan raya maupun di mal. Misalnya dalam hal gatal klakson. Begitu tersendat sedikit ada saja yang memencet klakson, baik selama berada di jalan masuk mal, di depan lobi, maupun dalam area parkir terbuka dan bahkan beratap (basement dan gedung parkir).

Mereka itu pastilah orang yang rasional dan tak mau rugi. Beli mobil selalu beserta klaksonnya (bukan sebaliknya). Sayang kalau tidak digunakan. Bahwa sebagian produsen mobil sudah mengurangi tingkat kebisingan klakson, bahkan mungkin para insinyurnya membayangkan klakson sebagai perlengkapan yang akan jarang dipakai, bagi orang Indonesia itu bisa dianggap kesalahan dalam rekayasa industrial. Pabrikan tak paham bahwa klakson itu penting bahkan utama dalam mengekspresikan perasaan — bahkan bisa eksistensial: aku mengklakson maka aku ada.

Begitulah, banyak pabrikan luar yang tak paham Indonesia. Mereka itu sotoy kelas berat. Misalnya menjadikan lampu sen sebagai perlengkapan standar mobil, sambil hakkul yakin bahwa pemakaiannya takkan mengganggu kelistrikan (kecuali kelistrikannya memang bermasalah) maupun memboroskan bensin.

Yang terjadi di jalan raya, orang Indonesia lebih tahu bahwa penyalaan lampu sen saat belok atau berpindah jalur itu mahal. Selain akan mempersingkat usia pakai bolam juga akan mengganggu kinerja mesin. Jadi, lebih baik tak usah dinyalakan. Sungguh konsumen berakal sehat.

Di mal, saat menepi ke depan lobi, atau saat memilih percabangan jalan di parkiran, tak semua mobil menyalakan lampu sen. Mobil seharga Rp 150 juta maupun lima kali lipatnya sama saja peluangnya untuk berhemat dengan lampu sen.

Bagaimana dengan kepatuhan terhadap jalur? Ada saja mobil yang begitu melihat kapling kosong akan segera belok melawan arus (tanpa arahan satpamwan). Tak usah memutar mengikuti panah karena bisa keduluan orang. Mereka paham sepaham-pahamnya, bahwa aturan yang tak menguntungkan tidak layak dipatuhi.

Bahkan di area parkir terbuka, lebih dari sekali (salah satu korbannya adalah saya) saya melihat ada mobil kecil lincah yang menyerobot antrean selagi mobil lain menunggu sebuah mobil keluar dari kaplingnya. Penyerobot gesit macam mereka layak jadi pemimpin partai dan korporat: yang penting hasil, bukan cara, bukan kepatutan. Yang penting parkir dulu baru berdebat, atau minimal cengengesan lalu minta maaf.

Bagaimana dengan parkir paralel sambil menutupi mobil orang, padahal mengaktifkan rem tangan atau tuas parkir? Kilah paling gampang, “Tadi nggak ada petugas yang ngasih tahu sih.”  Baiklah, sumber masalah ada pada petugas.

Kalau memarkir satu mobil di atas dua kapling, bahkan saat banyak mobil terpaksaa harus keluar sebelum memarkir? Saya menduga pengemudinya sudah memesan dua tiket sehingga berhak atas dua kapling. Hanya orang sirik dan naif saja yang menuduhnya tidak terampil memarkir.

Gaya sopir

Nah, ini bisa berisi nestapa pengundang iba, dan bisa juga menjengkelkan.

Yang mengundang simpati kita misalnya juragan memanggil sopir selagi dalam mal, dengan harapan ketika dia keluar maka hanya perlu menunggu sebentar atau malah sopir sudah menunggu di depan lobi.

Jika sopir harus menunggu lama maka dia harus rajin berdiplomasi dengan satpamwan. Dalam hal ini, sopir dengan setelan bagus, dan mengendari mobil bagus, apalagi ada atribut kemiliteran, kepolisian, dan ke-DPR-an, akan lebih diuntungkan. The boss is always right. Ralat: the boss’ chauffeur is always right.

Suatu kali dalam sebuah mal saya pernah melihat seorang nyonya di depan saya setelah menelepon sopir tiba-tiba masuk ke toko tas. Ketika saya menunggu taksi, datanglah sopir mengendarai mobil nyonya itu lalu diam menunggu. Satpamwan menghardik, tapi sopir bersikeras hanya menjalankan perintah. Lebih baik berantem sama orang ketimbang dipecat juragan.

Lalu apa lagi, terutama yang mengesalkan? Di area parkir terbuka, misalnya di pelataran Citos pada terang hari, banyak sopir yang memarkir mobil dengan mesin hidup. Mereka ingin menikmati AC. Maklumlah tak semua mal menyediakan tempat ngadem yang layak, bahkan pepohonan pun belum tentu tertanam dengan rimbun.

Besar kemungkinan para pengelola mal merujuk iklan: hampir semua mobil digambarkan nyaman dikendarai oleh pemiliknya sehingga tak perlu sopir. (Lihat: Sopir sebagai pelengkap mobil). Lihat saja pameran mobil dalam mal, jarang peminat yang mengajak sopirnya untuk dimintai pendapat.

Para sopir itu butuh ngadem. Soal keawetan AC, dan terlebih penghematan energi serta masalah polusi gas buang, bagi mereka itu bukan urusannya. Juragan saja tak peduli, kenapa orang lain cerewet?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *