PETERPAN SEMPAT RENGGANG. ARIEL MASUK BUI MEREKA TEKOR.
Masa kurungan 750 hari Ariel Peterpan diawali dengan mendekam di rumah tahanan Bareskrim Mabes Polri, Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir masuk ke sana, Ariel dan seorang tahahan lain pun tergusur dari sebuah sel 4 x 4 meter. Setelah itu keusilan tahahan lain pun muncul, ada yang berkata kepada Ba’asyir, “Ini Ariel, Pak Ustad!”
Ba’asyir, yang ditahan karena kasus terorisme, menyahut, “Oh, ini toh Ariel? Saya hanya tahu namanya saja.” Lantas dia menasihati Ariel agar tak berkecil hati, karena manusia diciptakan untuk bikin kesalahan lalu memperbaiki diri.
Pengalaman baru, kadang aneh, itulah yang memperkaya Ariel. Dalam perjalanan untuk disidang ke PN Bandung, sekelompok siswi berkerudung melempari mobil tahanan dengan tomat. Ariel mencatat, “Namun ada keanehan saat saya melihat mata mereka: datar tanpa emosi.” (hal. 208).
Dalam buku Kisah Lainnya: Catatan 2010-2012, Nazril “Ariel” Irham (dan editor buku) membuat sekumpulan sketsa perjalanan karier bersama bandnya, Peterpan, yang diperkaya tulisan personel lainnya (Uki, Lukman, Reza, David). Di sana tergambar masa remaja, pencarian identitas diri dan profesi, sampai kejenuhan sebuah band di masa jaya.
Magnet seorang biduan belia
Ariel Peterpan-kemudian-Noah dan editor menempatkan penahanan dirinya sebagai bab pembuka. Dimulai dari ketegangan Ariel setelah asistennya berbisik sambil menujukkan isi sebuah ponsel dalam suatu rapat di bulan Mei 2010, lalu Ariel harus menyembunyikan diri, sampai akhirnya menyerahkan diri dengan cara dijemput polisi di sebuah parkiran “hotel di kawasan Semanggi”, malam hari 23 Juni 2010.
Memang, malapetaka karena video pribadi itulah yang akhirnya menempatkan Ariel ke dalam kasus kontroversial. Maka layaklah jika menjadi pembuka. Saya pribadi menganggap dia tak melakukan kejahatan (karena bukan memperkosa, dilakukan bersama perempuan dewasa), dan dia tidak menyebarkan konten itu.
Saya bukan (atau belum menjadi) penggemar Peterpan maupun Ariel. Bertahun-tahun saya mengejanya “a-ri-yèl” karena mengandalkan teks dan kelaziman, bukan dengaran. Lagu-lagun Peterpan pun hanya satu-dua yang saya ketahui.
Akan tetapi dari sejumlah serapan terhadap muatan media (termasuk televisi sekilas), saya mendapatkan kesan bahwa Ariel itu frontman yang pintar, sangat percaya diri, dan… punya sex appeal kuat.
Semuda itu, belum genap 30 saat itu, dia sudah mendapatkan banyak hal (tentu juga karena kerja keras): ketenaran, uang, penggemar, dan segala goda dunia. Tampang Ariel layak pandang, tubuhnya kencang, kadang menyanyi dengan dada telanjang (karena kepanasan), masih memakai tas pinggang (bermula dari kebiasaan sehari-hari kemudian manajemen akhirnya memintanya menjadi bagian dari wardrobe pentas), sampai seorang ibu dan calon ibu mendiskusikannya di sebuah blog dalam canda riang (lihat posting Simbok Venus, 2 Maret 2008).
Proses kreatif dan pendewasaan
Lantas apa yang menarik dari buku ini selain soal bui? Proses seorang Ariel menjadi musisi dan pembentukan chemistry sebuah band. Ariel tak hanya bisa menulis lagu tapi juga lirik karena mau belajar.
“[…] Namun saya tidak mampu menulis lagu dalam bahasa Indonesia. Saya tidak mempunyai gaya bahasa, dan saya tidak tahu mau menulis apa…” demikian pengakuan Ariel (hal. 49).
Dari lemari kakak perempuannya, Ivanna, Ariel remaja menemukan sebuah buku harian, dan kelancangan itu dilipatgandakannya dengan mengutip isi: bila rindu ini masih milikmu / kuhadirkan sebuah tanya untukmu / harus berapa lama aku menunggumu. Maka terciptalah calon refrain untuk lagu Menunggumu (hal. 50).
Proses belajar Ariel saat SMA itu adalah mencari bacaan selain komik Spider-Man, Kungfu Boy, dan Dragon Ball. Dia terpikat oleh buku yang terbungkus plastik karena judulnya. Cinta, Keindahan, Kematian. Karya Kahlil Ghibran.
Setibanya di rumah dia baru tahu itu bukan novel melainkan buku puisi. Setelah itu Ariel banyak menulis, bukan demi lirik melainkan belajar menuangkan gagasan. Kini Ariel ingin memperdalam teknik vokal. Ketika dia menyanyi dengan gaya lain, Fadli Padi bisa menerka dengan tepat: Ariel mengadopsi gaya Curt Cobain dalam Menghapus Jejakmu (hal. 218),
Bagian lain yang menarik adalah yang saya tunggu dan ternyata ada: proses pendewasaan sebuah band. Ketika uang berlimpah, ada anak Peterpan yang membeli sebungkus rokok dengan selembar Rp 100.000 tanpa meminta kembalian.
Ketenaran dan jadwal konser membuat mereka kelelahan. Cekcok sepele bisa menjadi clash, bahkan tak jarang dipertunjukkan di depan orang saat sound check. “Di atas panggung kami boleh terlihat kompak, tapi begitu selesai menjalankan tugas, kata Uki, ‘Every man for himself’.” (hal. 101).
Masalah kian menebal ketika Peterpan harus menyiapkan album baru. Sulit sekali mengumpulkan personel dan materi lagu. Belum lagi kebiasaan menunda pekerjaan ketika giliran take demi take tiba.Akibatnya waktu rehat enam bulan menjadi setahun, padahal band terikat kontrak dengan label (Musica).
Kerukunan sebuah band ini hal yang menarik. Pink Floyd, yang pernah masuk daftar musisi kaya Forbes, pernah terkabarkan bahwa personelnya saling meludahi di panggung. Namun di sisi lain saya gumun, apakah di luar motif bisnis ada pengikat lain sehingga grup gaek Rolling Stones (terutama Jagger dan Richards) bisa bertahan? Fortune pernah mengangkat Stones sebagai perusahaan yang bagus dalam laporan utama: “Stones Inc.”.
Keutuhan band bukan perkara gampang, Koes Bersaudara-dan-Plus pun bisa tak rukun setelah tenar (Nomo keluar, Yok terkabarkan suka mutung). Yockie dan Chrisye bercerai karena beda motif (sang penyanyi mementingkan kelanggengan komersial). Apakah setiap band perlu orang dominan seperti Ahmad Dhani dalam Dewa? Soal chemistry ini kok kayaknya antara matematis dan tidak.
Bagi Peterpan, masalah terbesar yang harus ditanggung adalah saat Ariel ditahan. Peluncuran album baru tertunda, padahal sampul dan klip sudah jadi. Konser tak ada. Ujung-ujungnya yang paling menderita adalah kru, karena tanpa jobs untuk band mereka tak beroleh uang. Ada yang disalurkan Geisha, Nidji, d’Masiv, dan God Bless. Seorang roadie angkut barang yang tak memiliki keterampilan akhirnya menjadi tukang parkir.
Bagaimana menjelang dan sesudah Ariel bebas? Mereka harus menata diri. Ariel menyebutnya ujian bagi kesabaran, kepercayaan, dan ego. Ia mengagumi Lukman, sahabatnya yang jauh lebih tua, tapi disertai kritik bahwa Lukman kurang dapat mengayomi band.
Yang lainnya? “Reza dan David agak jauh dari bursa pemimpim interim. Yang pertama terlalu rock n’ roll, sementara yang kedua masih terlalu hijau.” Pilihan jatuh ke Uki, sahabat Ariel sejak SMP. (hal. 184)
Bonus musik instrumental
Di luar tuturan, ada dua hal lain yang menarik. Pertama: sketsa karya Ariel selama dalam bui. Dia memang berhobi menggambar, pernah kuliah sebentar di jurusan arsitektur. Selama menjalani asimilasi Ariel magang di Gaea Architect (Bandung), sebuah biro arsitektur milik kakak kelasnya di Universitas Parahyangan.
Kedua: bonus CD, sebagian besar instrumental. Proses kreatifnya dibahas dalam buku. Sungguh katro, saya baru tahu lagu-lagu itu padahal ternyata lagu lama Peterpan. Setelah saya cek di YouTube ternyata lagunya tak sebagus versi orkestral. Misalnya Di Atas Normal dan Sahabat. Yang lain belum menarik. :) Mungkin karena saya awam Peterpan.
CD itu tak menyertakan kredit. Tak ada nama Saunine, Idris Sardi, Henry Lamiri, maupun Karinding Attack. Baru pada keping versi nonbonus yang saya beli di toko CD ada kredit yang lumayan lengkap. Nama-nama studio pun disebut berikut penata rekamannya.
Sebagai bacaan ringan, buku ini menarik dan bisa mencerahkan. Serupa musik pop, begitulah. Saya tak tahu apakah segenap anggauta Sahabat Peterpan (fan club) juga menyukainya.
JUDUL: Kisah Lainnya: Catatan 2010-2012 • PENULIS: Ariel dkk • DESAIN & ILUSTRASI SAMPUL: Ariel & Xantalia • PENERBIT: Kepustakaan Populer Gramedia & Musica Studio’s, Jakarta: Agustus, 2012 • TEBAL: xii + 228 halaman • HARGA: Rp 65.000 • ISBN 13-978-979-0482-3
ALBUM: Suara Lainnya • ARTIS: Ariel, Luki, Lukman, Reza, dan David • VISUAL/GRAFIS: Ariel & Herry Sutresna (pengarah seni), Reno & Panjul (fotografi), Ario Rimbo (desain) • PRODUSER/LABEL/DISTRIBUTOR: Musica Studios • TAHUN: 2012 • HARGA: Rp 50.000 (versi lepas, dengan kemasan baku) dan gratis (versi bonus buku, dalam kemasan amplop)
© Foto Ariel untuk penanda tulisan oleh Kapanlagi.com via Wikipedia Indonesia